SEJARAH lisan, bagi saya, termasuk disiplin ilmu baru. Dahulu saat
kuliah saya tidak mempelajarinya karena memang belum masuk dalam mata kuliah.
Sekarang ini di Prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung, saya mulai mengenalnya.
Guru saya, Dr Asep Ahmad Hidayat dan Dr
Setia Gumilar, menyatakan sejarah lisan bagian dari metode penelitian sejarah
untuk merekonstruksi peristiwa masa lalu yang bersumberkan dari memory (ingatan).
Sejarah yang bertumpu pada kaidah: no document, no history, dinilai
kurang memuaskan sebagian peneliti dalam mengungkap dan memahami masa lalu yang
tidak tertulis. Selama ini rekonstruksi sejarah masih bertumpu pada peristiwa
dan tokoh besar. Sejarah identik dengan kaum elit dan istana. Sedangkan
kalangan wong cilik dan kaum alit kurang muncul dalam gelanggang sejarah yang
direkonstruksi para peneliti sejarah.
Sejarah terlalu luas dalam ruang dan panjang dalam rentangan waktu.
Sebuah peristiwa yang dikaji, belum tentu terungkap utuh. Apalagi kalau hanya
mengandalkan catatan dan laporan yang tertulis maka akan terbatas yang
disajikannya. Karena itu, adanya sejarah lisan merupakan pelengkap untuk
menyempurnakan rekonstruksi sejarah, khususnya yang berkaitan dengan kebudayaan
atau alam pikiran masyarakat dan sejarah kontemporer. Kajian tokoh dan asal
usul kota yang bertumpu pada tradisi dan cerita-cerita rakyat bisa menggunakan
sejarah lisan dalam proses penggalian sumbernya.
Dr Reiza D. Dienaputra menulis buku Sejarah Lisan: Konsep dan
Metode. Buku ini terbit tahun 2007 oleh Minor Books di Bandung. Beruntung dapat
bukunya (meski berbentuk fotokopi) sehingga saya dapat mengetahui tentang
sejarah lisan dan ruang lingkupnya.
Kesan saya ketika membaca, buku Sejarah Lisan ini bisa
disebut rinci dalam menerangkan sejarah lisan. Dimulai dari pengertian,
manfaat, kedudukan, metode, langkah praktis dalam pelaksanaan, petunjuk
pengalihan dari rekaman ke tulisan, dan contoh penelitian yang menggunakan
sejarah lisan.
Menurut Reiza, sejarah ada dua: objektif dan subjektif. Sejarah
objektif adalah peristiwa atau kejadian yang terjadi satu kali dan tidak
berulang, baik dari segi waktu maupun suasana dalam ruang. Ada yang mengatakan
sejarah itu berulang. Pendapat ini tidak keliru hanya saja yang berulang adalah
jenis peristiwa dan kejadian. Sedangkan ruang dan waktu serta suasana yang
melingkupinya tidak akan pernah ada yang sama. Revolusi Indonesia terjadi
sekali. Revolusi yang sejenis sebagai bentuk perlawanan kepada kolonialisme dan
kehendak untuk merdeka bisa terulang di berbagai negara dan bangsa.
Sementara sejarah subjektif adalah sejarah sebagai kisah berupa hasil
rekonstruksi dari peristiwa sejarah atau bangunan masa lalu yang disusun oleh
peneliti (rekonstruktor) dengan melalui tahapan prosedur metode penelitian
sejarah. Hasilnya berupa narasi, cerita, atau uraian yang ditulis dalam bentuk
laporan (buku atau jurnal) sebagai historiografi. Sejarah dalam arti subjektif
direkonstruksi dari sumber-sumber seperti tertulis (dokumen), benda (artefak),
visual (gambar, lukisan, foto, dan video), dan lisan (suara). Sumber lisan
meliputi tradisi lisan yang ada di lingkungan suatu masyarakat, rekaman suara
berupa rekaman ceramah dan rapat atau obrolan, dan sejarah lisan.
Sejarah lisan agar bisa dijadikan sumber, sejarah lisan yang berupa
suara (dari penuturan saksi dan pelaku sejarah) perlu dituliskan dalam bentuk
catatan (transkripsi) dan direkam dengan alat rekam. Thucydides (460-395 SM)
dianggap orang Yunani pertama yang menggunakan sumber lisan dalam rekonstruksi
sejarah Perang Peloponesia dengan mewawancarai para prajurit yang terlibat perang.
Karyanya diterbitkan dengan judul Histoire de la Guerre du Peloponnese (Paris:
Garnier Freres, 1966). Kemudian abad 20 M, ketika sudah ditemukan alat rekam,
menjadi metode modern dalam penelitian sejarah di Amerika Serikat tahun 1930.
Allan Nevins tahun 1948 mendirikan pusat sejarah lisan yang pertama di
Universitas Colombia, New York, Amerika Serikat. Diikuti peneliti sejarah di
Kanada, Inggris, dan Italia. Bahkan negara Malaysia, Thailand, dan Singapura
merintisnya dari 1960 an. Singapura dianggap maju untuk kawasan Asia Tenggara
dalam sejarah lisan karena membentuk Pusat Sejarah Lisan di Arsip Nasional
Singapura. Indonesia tahun 1978 melalui Arsip Nasional Republik Indonesia
(ANRI) mulai melirik sejarah lisan untuk melengkapi kekurangan arsip Indonesia
pada kurun 1942-1950.
Kepedulian pada sejarah lisan yang ditunjukan di atas dapat dipahami
karena sejarah memerlukan keutuhan cerita sehingga ketika direkonstruksi tampil
menjadi kisah yang mendekati kebenaran (sesuai dengan langkah kerja ilmiah).
Apa itu Sejarah Lisan?
Sartono Kartodirdjo mendefinisikan sejarah lisan sebagai cerita-cerita
tentang pengalaman kolektif (memory collective) yang disampaikan secara lisan.
Karena itu, ingatan manusia menjadi penting diperhatikan dalam proses
mendapatkan informasi sejarah dari pelaku maupun saksi. Memori atas kejadian
yang dialami dan dilihat, yang benar-benar nyata terjadi, yang tersimpan dalam
ingatan. Faktor usia dan penyakit kadang membuat orang lupa dengan pengalaman
atau ingatan masa lalu. Karena itu, tugas peneliti sejarah untuk memindahkan
dari memori manusia dalam bentuk rekaman atau transkripsi dari wawancara. Dalam
melakukannya tentu harus sesuai dengan prosedur dalam metode sejarah lisan.
Tidak semua ingatan dan pengalaman manusia termasuk dalam sejarah
lisan. Sejarah lisan—menurut Taufik Abdullah—terdiri dari tiga: sastra lisan,
pengetahuan umum tentang sejarah, dan kenangan pribadi. Yang terakhir ini
menempati posisi yang penting dalam kategori sumber sejarah karena memiliki
keterkaitan erat dengan kualitas individu. Dalam hal ini, peneliti jangan gegabah
atau asal wawancara, tetapi harus pada orang yang tepat dan benar-benar terkait
dengan sejarah yang hendak direkonstruksi.
Mengapa sejarah lisan penting? Paul Thompson menyatakan karena sejarah
lisan mampu mengembalikan sejarah kepada masyarakat serta menjadikan sejarah
lebih demokratis. Ini bisa dipahami sebagai upaya untuk mewadahi, mengakomodir,
atau menggali hal-hal yang terlewatkan dalam dokumen-dokumen yang tersedia.
Mungkin sebagai contoh, bahwa sejarah yang disampaikan kaum istana,
kerajaan, atau pejabat pemerintah tentang suatu peristiwa adalah versi
tersendiri. Sejarah dari kalangan orang alit seperti abdi dalem kraton, petani,
prajurit, pegawai negeri, dan buruh tentang suatu peristiwa yang sama dengan
yang dialami dan dilihat kaum elit atau pejabat, tentu memiliki perbedaan. Dua
versi ingatan ini perlu diungkap kemudian diproses dalam metode penelitian
sejarah sehingga ketika rekonstruksi memunculkan sejarah yang utuh. Di sinilah
peran dan guna sejarah lisan menjadi penting sebagai pelengkap sumber sejarah.
Dalam hal ini, pastinya terkait dengan metode.
Metode
Metode dalam sejarah lisan adalah dengan melakukan wawancara pada para
saksi dan pelaku sejarah. Bukan seperti wartawan atau jurnalis yang sekadarnya
kemudian menuliskannya dalam bentuk beria (yang terkadang tidak utuh). Dalam
sejarah lisan, seorang historian melakukan wawancara dengan tahapan-tahapan
yang teratur seperti persiapan (menentukan topik dan narasumber), pelaksanaan
(etika dalam wawancara), pembuatan indeks dan transkripsi (memindahkan rekaman
dalam bentuk dokumen).
Mungkin yang terpenting, terkait dengan sejarah lisan ini, adalah model
penelitian sejarah lisan. Karena sejarah lisan ini masuk dalam heuristik
(langkah pengumpulan sumber) sehingga harus melalui tahapan kritik (intern dan
ekstern). Kritik terhadap sejarah lisan dilihat dari: profil dan kepribadian
jiwa narasumber (pengkisah), melihat kepentingan (individual) dari pengkisah,
kronologi peristiwa, dan anakronisme (dari pemahaman ideologi). Itulah
bentuk-bentuk kritik untuk pengkisah atau narasumber sejarah.
Sementara kritik yang berkaitan dengan substansi sejarah lisan
meliputi: konsistensi pengkisah dalam menceritakan kisahnya, melakukan
koraborasi (perbandingan dengan sumber lisan lainnya dan sumber tertulis yang
sezaman), dan tempatkan rekonstruksi sejarah lisan dalam kontsruk kesejarahan
yang lebih luas; dengan melihat kesesuaian antara sifat dan karakter peristiwa
yang direkonstruksi dengan tingkat perkembangan sosial, politik, ekonomi, atau
budaya.
Mengapa perlu dilakukan kritik dalam sejarah lisan? Karena sejarah lisan berpotensi digunakan oleh si pengkisah untuk menyampaikan kepentingannya dan si konstruktor menggunakannya sesuai dengan kepentingannya. Karena itu, sejarah lisan ini dalam proses penelitian tidak bisa seperti orang-orang yang bekerja sebagai jurnalis media massa.
Mengapa perlu dilakukan kritik dalam sejarah lisan? Karena sejarah lisan berpotensi digunakan oleh si pengkisah untuk menyampaikan kepentingannya dan si konstruktor menggunakannya sesuai dengan kepentingannya. Karena itu, sejarah lisan ini dalam proses penelitian tidak bisa seperti orang-orang yang bekerja sebagai jurnalis media massa.
Demikian sedikit review buku yang disajikan dalam makalah ini. Memang
bisa dikatakan belum cukup representatif menyampaikan sejarah lisan dari satu
rujukan. Karena itu, memerlukan rujukan dari buku lainnya untuk melengkapi
pengetahuan tentang sejarah lisan ini.***
Bandung, 16 Maret 2015
AHMAD SAHIDIN adalah Mahasiswa
program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN Sunan Gunung
Djati Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar