Kisah Nabi Yusuf as Dalam Al-Quran


Mukadimah
Nama surat ke 12 dalam susunan mushaf Al-Quran, disebut surat Yusuf as. Dinamakan demikian, karena di dalam surat ini diceritakan kisah tentang perjalanan hidup yang sekaligus menjadi tokoh utamanya, yaitu Nabi Yusuf as.[1] Tidak sama dengan umumnya nabi yang lain, kisah beliau hanya disebut dalam surat ini.

Selain pada ayat ini, nama beliau sempat disebut juga, yaitu pada surat alAn’am ayat 84dan surat al-Mu’min (Ghafir) ayat 34.[2] Surat ini terdiri atas 111 ayat dan digolongkan sebagai surat Makkiyyah[3] karena turun di Mekah sebelum Nabi Saw berhijrah ke Madinah. Surat ini turun setelah surat Hud pada saat yang tepat karena di satu sisi Nabi Muhammad Saw sedang dirundung duka atas kepergian dua orang yang sangat dicintai dan mencintainya[4]yaitu Abu Thalib dan ibunda Khadijah.

Sementara di saat yang sama orang di sekelilingnya banyak yang meragukan kebenaran peristiwa isra dan mi’raj, bahkan tidak sedikit yang lemah imannya kembali murtad meninggalkan dienul Islam. Di antara salah satu maksud utama turunnya surat ini nampaknya adalah untuk menguatkan hati Nabi Muhammad saw, terutama dalam menghadapi situasi sulit ini. 

Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam kitab ad-Dalail bahwa segolongan orang Yahudi masuk agama Islam sesudah mereka mendengar cerita Yusuf as ini, karena adanya kesesuaian dengan cerita-cerita yang mereka ketahui. Bagi Rasulullah Saw sendiri, kisah ini adalah perkara ghaib karena sebelum diturunkan, sama sekali beliau  belum mengetahui kisah ini.[5]
Asbabun Nuzul
Menurut Jalaludin As Suyuthi, sebab turunnya ayat ini, terutama berkenaan dengan ayat ke 3, beliau menyatakan bahwa sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hakim dan lain-lain, yang bersumber dari Sa’d bin Abi Waqash bahwa setelah sekian lama turun ayat Al-Quran kepada Nabi saw dan dibacakannya kepada para shahabat.

Mereka berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana jika tuan bercerita kepada kami?” Maka Allah menurunkan, اللهُ نزّلَ احسنَ الحديثsampai akhir ayat (AzZummar: 23), yang menegaskan bahwa Allah telah menurunkan sebaik-baik cerita. Menurut Ibnu Abi Hatim, para shahabat berkata lagi: “Ya Rasulullah, bagaimana jika tuan mengingatkan kami?” Maka Allah menurunkan ayat pada surat Al Hadid ayat 16, yang mengingatkan banyaknya ayat yang telah diturunkan Allah agar mereka menundukkan diri kepada-Nya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Ibnu Mas’ud bahwa para shahabat berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana jika tuan mengisahkan sesuatu kepada kami?” Maka Allah menurunkan ayat ini (Yusuf as: 3) yang menegaskan bahwa di dalam al-Qur’an sudah terdapat kisah-kisah yang baik sebagai teladan bagi kaum Mukminin.5

Disebut sebagai ahsanul qashash, karena kisah Nabi Yusuf as  diuraikan dari awal sampai akhir  dalam sebuah alur  yang panjang dan berurut. Tidak ada kisah lain yang dirangkai secara runut seperti kisah Nabi Yusuf as.

Keunikan lain karena kisah ini dirangkai dalam satu tempat yang utuh. Tidak seperti kisah lainnya yang terpisah dalam berbagai surat. Kisah  ini juga menyajikan sebuah proses demi proses menuju sebuah kemenangan sempurna. Proses menuju kemenangan sempurna ini dilalui oleh Nabi Yusuf as  atas dasar mukjizat Allah SWT, tetapi tanpa menghadirkan peristiwa ajaib seperti mukjizatnya Nabi Ibrahim yang tidak terbakar api, Nabi Musa as yang mampu mengubah tongkat menjadi ular, atau berupa kejadian luar biasa sepertiangin topan, banjir dan lain sebagainya.

Semuanya disajikan dalam bentuk nature, datar, dan menyentuh keseharian manusia pada umumnya. Setiap pembaca kisah ini, dibuai intrik dan konflik para tokoh serta kesabaran, kejujuran dan kegigihan tokoh utama menuju happy ending yang menghanyutkan hati.6

Setting Waktu, Tempat dan Tokoh dalam Kisah Nabi Yusuf as
Dalam Al-Quran suratYusuf as ayat 43 disebutkan bahwa Nabi Yusuf as hidup pada masa kekuasaan seorang raja yang dipanggil dengan kata malik. Kata malik memang biasa dipergunakan oleh orang Arab untuk menunjuk seorang penguasa. Ada pun Mesir sendiri, pernah dikuasai penguasa dari Jazirah Arabia, yaitu dinasti Hyksos atau dikenal juga dengan sebutan Amalekit7yang sangat dimungkinkan menggunakan kata malik untuk menunjuk penguasanya.

Atas dasar ini, Nabi Yusuf as dimungkinkan hidup  pada masa dinasti Hyksos berkuasa, yaitu antara tahun 1700 SM sampai tahun 1550 SM.8

Menurut Toynbee, kerajaan Mesir Pertengahan tampaknya telah dirobohkan secara perlahan oleh orang-orang barbar yang disebut Hyksos, yang menginfiltrasi melalui pojok timur laut delta Nil sekitar tahun 1730  atau 1720 SM.9

Pada beberapa ayat disebut secara tegas kata Mishra (Mesir) yang menunjukan setting tempat dari peristiwa ini. Namun kalau melihat ayat 93 dinyatakan bahwa setelah Nabi Yusuf as menduduki jabatan penting di Mesir, beliau meminta kepada ayah dan seluruh keluarganya untuk pindah ke tempat di mana beliau berkuasa. Hal ini diperkuat juga dengan ayat  99. Artinya, tempat tinggal semula keluarga Ya’kub bukanlah di Mesir. Kalau melihat perjalanan hidup nenek moyangnya, yaitu Ibrahim dan Ishak maka dapat disimpulkanbahwa keluarga Ya’kub, awalnya bukan bertempat tinggal di Mesir.

Keluarga Ya’kub bertempat tinggal di Kan’an, pernah beberapa lama di Harran, dan kembali ke kampung halamannya Kan’an, sebelum diboyong oleh Yusuf as ke Mesir.10  Kan’an adalah istilah kuno untuk menunjuk wilayah yang meliputi Israel, Libanon dan sebagian Yordania.11

Tokoh sentral dalam kisah ini adalah Yusuf as. Selain Yusuf as disebut juga nama Ya’kub as, Ishak as, dan Ibrahim as (ayat 1-7 dan 38). Mereka adalah satu garis keturunan dengan susunan Yusuf as bin Ya’kub bin Ishak bin Ibrahim.

Selain nama-nama di atas dalam rangkaian kisah Nabi Yusuf as selalu disebut-sebut juga nama Bunyamin, Zulaikha, Al ‘Aziz, Raja (Al-Malik) dan Ibunda Yusuf as. Selain sepuluh saudara Yusuf as lainnya dan dua orang pemuda yang dimasukan ke dalam penjara bersamaan dengan masuknyaYusuf as. Namun tokoh-tokoh tersebut tidak disebut namanya secara langsung di dalam Al-Quran. Nama-nama itu, tampaknya  bersumber dari sejarah lisan yang dituturkan secara turun temurun di kalangan ahli kitab.

Redaksi yang menunjuk kepada sosok Bunyamin dapat dilihat pada ayat 8 dan 59 dengan ungkapan  ahi lakum min abikum. Nama Zulaikha, sebenarnya juga luput dari keseluruhan ayat yang mengisahkan perjalanan Nabi Yusuf as ini, tetapi sosoknya diwakili dengan ungkapan  Warowadathul llatii ( ayat 23) dan Imro’atul al Aziz (istri al Aziz)pada ayat 30. Al Aziz menunjuk kepada orang yang membeli dan membesarkan Yusuf asdan kemudian memergoki perbuatan istrinya yang hendak berbuat tidak senonoh kepada Yusuf as (ayat 30 dan 51). Nampaknya Al Aziz ini adalah istilah untuk menunjuk suatu jabatan tertentu, karena ternyata pada ayat ke 78 dan 88, Al Aziz disematkan kepada Nabi Yusuf as ketika beliau sudah memiliki kewenangan mengatur perbendaharaan.

Terkait dengan nama – nama tokoh dalam kisah ini, Heni Setiowati menukil tulisan Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir al Qur’an al-Hakim atau yang dikenal dengan nama Tafsir alManar menjelaskan bahwa Al Qur’an tidak menyebutkan sama sekali nama istri AlAziz bahkan nama Al Aziz itu sendiri. Al Qur’an sama sekali tidak mementingkan nama tersebut, karena Al Qur’an bukan kitab sejarah. Tujuan pengkisahan dalam Al Quran, bukan untuk mengungkap fakta sejarah, namun untuk menjadikannya sebagai ibrah, pelajaran, dan hikmah yang dapat diambil dan diteladani dalam kehidupan. Jadi nama seperti ini tidak perlu disebutkan.12

Ringkasan Kisah
Kisah Nabi Yusuf as bersama seluruh keluarga, yaitu ayah dan saudara-saudaranya, demikian juga perjalanan hidupnya mulai dari dibuang oleh saudaranya sampai memiliki kekuasaan dan berkumpul lagi dengan keluarga besarnya  dapat diringkas sebagai berikut.

Pertama, silsilah; Nabi Yusuf as memiliki silsilah yang sangat baik karena ayah, kakek dan buyutnya adalah Nabi/Rasul, yaitu Ya’kub, Ishak dan Ibrahim (Ayat 6). Nabi Yusuf as  memiliki 11 orang saudara seayah, sedangkan yang seayah dan seibu hanya dengan Bunyamin, dari ibunya yang bernama Rahil.13

Kedua, awal cerita; Yusuf asbermimpi tentang 11 bintang, bulan dan matahari yang bersujud kepada dirinya yang kemudian dikomunikasikan kepada ayahnya. Ayahnya menyarankan agar mimpinya itu tidak diceritakan kepada siapapun, termasuk kepada saudara-saudaranya sendiri (ayat 4 - 5).

Ketiga, Nabi Yusuf as dibuang;  sifat iri dan dengki, mendorong saudara-saudara Yusuf as untuk melenyapkannya dari kehidupan keluarga besar Nabi Ya’kub as. Atas kemufakatan mereka, yang awalnya hendak dibunuh, Yusuf as dimasukan ke dalam sebuah sumur  dan dikabarkan  kepada ayahnya bahwa Yusuf as dimakan srigala. Mendengar cerita saudara-saudara Yusuf as, Yakub as terus menerus berada dalam kesedihan yang berlarut-larut sampai kedua matanya buta (ayat 8 - 18).

Keempat, Nabi Yusuf asdifitnah; Nabi Yusuf as menggantungkan diri ke timba sumur yang ditarik oleh sekelompok musafir sehingga Yusuf as dapat naik ke permukaan tanah. Musafir itu kemudian menjual Yusuf as ke pembesar Mesir (Al Aziz)dengan harga murah (Ayat 21). Karena ketampanannya, Yusuf as diminta melayani hasrat Zulaikha (Istri Al Aziz).Kelakuan Zulaikha kepergok suaminya sendiri, tapi Zulaikha balik memfitnah Yusuf asyanghendak memperkosanya. Istri Al Aziz tetap memutar balik fakta sekalipun sudah didatangkan saksi. Karena itu, Yusuf as bermohon kepada Allah bahwa penjara lebih baik ketimbang difitnah (ayat 19-33).

Kelima, Nabi Yusuf as dalam penjara; Allah mengabulkan doaYusuf as, beliau dimasukan ke dalam penjara bersamaan dengan dua orang pemuda. Suatu saat kedua pemuda ini bermimpi dan minta agar Yusuf as mentakwil mimpi mereka. Sebelum mentakwil Yusuf as menerangkan tentang tauhid dan mengajak keduanya beragama tauhid dan selanjutnya mentakwil mimpi kedua pemuda tersebut. (ayat 34 – 42).

Keenam, menjadi bendaharawan negara; Nabi Yusuf as diangkat menjadi bendaharawan negara setelah raja merasa puas dengan penjelasan tabir mimpinya yang dinyatakan bahwa negara akan mengalami kekeringan yang panjang sehingga pemerintah dipandang perlu mempersiapkan pangan yang cukup sebelum datangnya bencana tersebut. Jabatan yang erat kaitannya dengan pengelolaan pangan tersebut justru dipercayakan kepada Nabi Yusuf as (ayat 43 – 57).

Ketujuh, Nabi Yusuf as bertemu saudara-saudaranya;karena jabatannya  sebagai bendaharawan kerajaan,Yusuf as bertemu dengan 10saudara-saudaranya yang memiliki urusan untuk mendapatkan perbekalan pangan seperti masyarakat umumnya saat itu. Namun sebaliknya, takada satu pun yang mengenalinya lagi.  Situasi ini dimanfaatkan oleh Yusuf as  untukmenyusun dan merekayasa strategi pertemuan dengan ayahnya. Yusuf as akhirnya dapat berkumpul lagi dengan seluruh keluarga besarnya dan memboyong mereka ke Mesir (ayat 58 102).

Salah satu sisi kontroversi dari kisah nabi Yusuf as ini adalah pernikahannya dengan Zulaikha. Dalam tulisannya, Muhammad Arifin Jahari menyatakan bahwa pernikahan mereka, dilukiskan dalam beberapa tafsir seperti oleh Imam Fakr ad-Din ar-Razi dalam tafsir Mafatih alGhaib, Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsir al Qur’an al`Azhim, Imam az-Zamakhsyari dalam tafsirnya al Kasysyaf `an Haqa’iq at Tanzil wa `Uyun alAqawil fi Wujuh atTa’wil. Kisah pernikahan mereka dalam versi yang sedikit berbeda juga diceritakan oleh Imam as-Suyuthi yang meriwayatkannya dari Abdullah bin Munabbih,  Imam al-Qurthubi dari Wahab bin Munabbih. Dalam riwayat yang lain, Imam AsSuyuthi meriwayatkan dari Zaid bin Aslam.

Muhammad Arifin Jahari menganalisis bahwa keterangan menikahnya Nabi Yusuf as dengan mantan istri Al Aziz didapati setidaknya dari empat orang, yaitu  Muhammad bin Ishaq, Wahhab bin Munabbih, Fudhail bin `Iyadh, dan Zaid bin Aslam. Selain mereka dikenal meriwayatkan riwayat-riwayat isra’iliyat, seperti Wahab bin Munabbih dan Muhammad bin Ishaq, keempat perawi a`la ini adalah tabi’in, kecuali Fudhail bin `Iyadh, beliau adalah tabi’ tabi’in. Dalam meriwayatkan kisah di atas, mereka tidak menisbahkannya kepada sahabat Nabi atau kepada Nabi Muhammad, tapi mereka nisbahkan kepada diri mereka sendiri. Ini berarti riwayatnya terputus.

Untuk menilai riwayat-riwayat di atas, selanjutnya Arifin menggunakan tiga penilaian: penilaian ulama hadis, ulama tafsir, dan ulama tarikh (sejarah). Ulama hadis sepakat, riwayat seperti ini dinilai lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah sama sekali. Sebaliknya, ulama tarikh menerima riwayat seperti ini, karena standar periwayatan sejarah (yang tidak ada kaitannya dengan agama) tidak seketat standar periwayatan hadis, yang berkaitan dengan agama.

Sedangkan ulama tafsir berbeda pendapat dalam menerima atau menolak riwayat seperti ini. Keterangan ini, setidaknya dilihat dari dua sisi. Pertama, riwayat-riwayat yang berasal dari tabi’in. Menurut sebagian mufassir, jika riwayatnya shahih, walau berasal dari tabi’in, maka hal ini dapat digolongkan dalam tafsir bil ma’tsur. Namun, ulama tafsir yang lain berpendapat bahwa ungkapan tabi’in tidak terhitung dalam tafsirbil ma’tsur, tapi tergolong dalam tafsir bir ra’yi, jadi boleh diterima boleh tidak karena hanya sebatas pendapat tabi’in saja. Sisi yang kedua kembali pada hukum periwayatan isra’iliyat. Jika diteliti, riwayat-riwayat di atas tidak bertentangan dengan Al Qur’an, hadis, akidah, atau merusak ibadah, karena hanya berkaitan dengan penamaan istri AlAziz dan status nikah atau tidaknya antara Nabi Yusuf as dengan mantan istri AlAziz. Yakin atau tidaknya seseorang akan hal itu tidak sampai merusak akidahnya. Selain itu, riwayat-riwayat ini juga tidak didukung oleh Al Quran dan hadis-hadis dari Rasulullah SAW. Sebagaimana telah dijelaskan, hukum meriwayatkan riwayat seperti ini tidak menjadi masalah, atau boleh, walaupun tidak menjelaskan status ke-isra’iliyatan-nya. Jadi wajar ketika ulama tafsir memasukkan riwayat seperti ini dalam tafsir mereka, dan mereka tidak menjelaskan statusnya.

Penutup
Dari rangkaian kisah Nabi Yusuf as di atas dapat diambil beberapa pelajaran yang sangat menarik. Kisah  ini mengalir seperti fenemona kehidupan manusia umumnya. Ada intrik dan konflik diantara para tokoh yang terlibat di dalamnya. Mukjizat yang diberikan oleh Allah SWT atas kenabian Yusuf as juga cukup unik karena berbeda dengan mukjizat para nabi lainnya, yang lebih mempertontonkan “keluarbiasaan”  seperti tahan dibakar api, merubah tongkat menjadi ular dan lain lain.

Kisah Yusuf as mengingatkan seluruh manusia akan tiga hal utama yang menjadi senjata syaithan. Pertama, sikap iri dan dengki menjadi senjata utama syaithan untuk memperdaya seseorang kepada seseorang lainnya. Jangankan orang lain,  di kalangan keluarga sendiri bisa datang dan memperdaya yang selanjutnya berbuah fitnah, penganiayaan dan tindak pidana. Senjata kedua yang dijadikan alat memperdaya ummat manusia adalah hasrat seksual. Persoalan seksual, sama tuanya dengan usia manusia itu sendiri. Seperti yang menimpa kepada istri Al Aziz. Ketiga adalah kekuasaan. Ini mengingatkan bahwa ujian Allah kepada manusia untuk mengetahui seberapa kuat keimanan seseorang, bisa dalam bentuk derita dan nestapa, tapi juga bisa dalam bentuk kenikmatan, anugerah, kekayaan dan jabatan. Ketiga hal ini menimpa kepada diri Yusuf as, namun dengan keimanan dan kesabarannya semua liku kehidapan itu dapat dilaluinya dengan happy ending yang mengesankan.

Terakhir, mengingat dalam al Qur’an tidak dikisahkan bersatunya dalam satu ikatan pernikahan antara Nabi Yusuf as dengan mantan istri al Aziz yang pernah berusaha memperdayanya yang terkenal dengan nama Zulaikha, maka nampaknya perlu dihindari menyampaikan doa kepada sepasang mempelai dengan menyandarkan kepada pernikahan Nabi Yusuf dengan Zulaikha sebagaimana bersatunya antara Nabi Adam as dengan ibunda Hawa atau Rasululllah dengan Khadijah yang dikisahkan secara mutawatir. Kisah Pernikahan Nabi Yusuf dengan Zulaikha, berbau Israiliyat yang sudah tentu harus super hati-hati mempergunakannya. ***

DIKDIK DAHLAN LUKMAN adalah Mahasiswa S2 Prodi SKI UIN SGD Bandung, angkatan 2014.




[1] Khadim Al Haramain  Asy Syarifain, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah, TT), halaman 347.
[2] Muhammad Fawad Abdul Baqi, al Mu’jam al Mufahras Li Alfadz al Qur’an Al Karim, (Lebanon, Dar Ma’arif, 1994), 939.
[3] Al Imam Abi Ja’far Muhammad ibn Jarir al Thabari, Jamii’ul Bayan fii Ta’wil al Qur’an (Program Maktabah Shameela.  jilid 15), 551.
[4] Sayyd Quthb ibn Ibrahim HuseinAl Syadzili, Fii Zhilalil Qur’an, (Program Maktabah Shameela), 1949.
[5] Khadim Al Haramain  Asy Syarifain, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Madinah, TT), halaman 347.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar