Tidak ada ilmu yang
tidak berguna, semuanya saling melengkapi. Walaupun harus diakui pertentangan
atau kontroversi dalam suatu disiplin ilmu kerap terjadi. Tak terkecuali adalah
filsafat. Apalagi filsafat adalah ilmu yang mengedepankan rasio, akal, pikiran,
sehingga masalah yang tidak terlihat bisa diperdebatkan di dunia filsafat.
Belum lagi ditambah filsafat adalah ilmu yang membicarakan tentang manusia,
agama, tuhan,liberalisme, atheisme, marxisme, dan komunisme, yang terkadang
bertentangan dengan Islam.
”Orang yang belajar
filsafat haruslah orang pintar yang mempunyai akidah yang kuat, sehingga bisa
membantu memaslahatkan umat,” ujar Direktur Pasca Sarjana IAIN Sunan Gunung
Djati Bandung, Dr. H. Afif Muhammad, MA.
Melihat penting dan
sensitivnya ilmu filsafat, sudah barang tentu pengajaran atau metode yang
diberikan harus sesuai dengan yang diharapkan. Karena sedikit saja bergeser,
keimanan adalah taruhannya. Kepada wartawan Republika, Reni Susanti, dosen di
berbagai perguruan tinggi ini menuturkan seluk beluk filsafat termasuk
metodenya. Berikut ini petikannya:
Ada yang ‘melarikan’
kasus yang terjadi di UIN Sunan Gunung Djati sebagai praktik pendangkalan
akidah yang dilakukan lembaga pendidikan agama. bagaimana komentar Anda?
Kalau kata ‘praktik’, itu merupakan sesuatu yang diprogram dan direncanakan.
Dan kalau yang dimaksud dalam pengertian itu, saya jamin tidak akan ada praktik
pendangkalan akidah dalam kasus ini. Kalaupun perguruan tinggi itu mempunyai
pemikiran yang macam-macam, kami kira untuk dunia akademik itu wajar. Karena
kami bukan hanya memahami tapi mendorong orang untuk berpikir kritis. Begitupun
dengan pemikiran mahasiswa yang bermacam-macam, dan saya kira itu juga wajar,
karena mereka datang dari berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda.
Sejauh mana batas
ilmiah pencarian ketuhanan?
Tentu akan ada batasan. Misalnya kita tidak boleh terlalu berpegang pada kesimpulan akal tanpa bimbingan wahyu. Banyak hal yang tidaak dapat dipecahkan oleh filsafat. Contohnya ketika kita sudah tidak bisa menjawab suatu persoalan, maka kita akan kembali pada wahyu. Namun akal dan wahyu pun berbeda.
Tentu akan ada batasan. Misalnya kita tidak boleh terlalu berpegang pada kesimpulan akal tanpa bimbingan wahyu. Banyak hal yang tidaak dapat dipecahkan oleh filsafat. Contohnya ketika kita sudah tidak bisa menjawab suatu persoalan, maka kita akan kembali pada wahyu. Namun akal dan wahyu pun berbeda.
Ketika kita
berfilsafat maka pada kesimpulan pertama yang muncul adalah tuhan ada atau
tiada. Dan apabila buktinya sama-sama kuat maka perlu didialogkan. Kalaupun dalam
dialog itu menemukan kebuntuan karena ada keseimbangan antara akal dan wahyu,
maka kita harus menggunakan hati nurani kita dengan bantuan agama. Namun untuk
masalah ketuhanan sendiri, cara pandang masyarakat awam dan dunia akademik
berbeda. Masyarakat awam diberi informasi, didongengi, dan didakwahi. Kalau
dunia akademik diajak membuktikan dan bersifat kritis agar imannya semakin
kuat.
Sampai batas mana kebenaran agama bisa dibantah atau didebat, bila memang perbedaan pendapat itu rahmah?
Alquran mengatakan jika kalian masih ragu-ragu terhadap ayat yang diturunkan kepada hambaku Muhammad ini, maka coba buat ayat seperti itu perkataan itu memperlihatkan bahwa Alquran menantang. Namun redaksi kata itu jangan hanya diartikan untuk membuat ayat serupa dengan nilai sastra yang sama pula. Tetapi kita harus memikirkan isinya pula. Sebenarnya ini menunjukan bahwa ketika Anda beriman, keimanan itu harus diuji terus menerus jangan disembunyikan ataupun dibentengi. Karena itu dapat mengakibatkan benteng keimanan yang kita anggap kuat pada awalnya ketika dihantam oleh filsafat akan membuat kalah. Inilah yang sering terjadi, kita selalu membentengi keimanan dengan tidak boleh ini dan itu, namun ketika kita bertemu dengan filsafat dan dibenturnya, kita tidak berdaya. Yang namanya filsafat itu terus menggelinding. Kalau kita tidak proaktif kita akan diserang terus.
Sampai batas mana kebenaran agama bisa dibantah atau didebat, bila memang perbedaan pendapat itu rahmah?
Alquran mengatakan jika kalian masih ragu-ragu terhadap ayat yang diturunkan kepada hambaku Muhammad ini, maka coba buat ayat seperti itu perkataan itu memperlihatkan bahwa Alquran menantang. Namun redaksi kata itu jangan hanya diartikan untuk membuat ayat serupa dengan nilai sastra yang sama pula. Tetapi kita harus memikirkan isinya pula. Sebenarnya ini menunjukan bahwa ketika Anda beriman, keimanan itu harus diuji terus menerus jangan disembunyikan ataupun dibentengi. Karena itu dapat mengakibatkan benteng keimanan yang kita anggap kuat pada awalnya ketika dihantam oleh filsafat akan membuat kalah. Inilah yang sering terjadi, kita selalu membentengi keimanan dengan tidak boleh ini dan itu, namun ketika kita bertemu dengan filsafat dan dibenturnya, kita tidak berdaya. Yang namanya filsafat itu terus menggelinding. Kalau kita tidak proaktif kita akan diserang terus.
Kalau boleh tahu, apa
alasan itu juga yang membuat mahasiswa Bapak berbuat demikian?
Salah satunya itu. Namun perkataan itu berawal dari kekesalan mereka atas kebobrokan kondisi kita. Hingga kini, koruptor lepas namun penjahat kecil terus ditangkapi. Dengan pemikiran mereka yang masih muda dan belajar filsafat tanpa akidah yang kuat, yang keluar adalah hal itu. Permasalahannya ada pada bahasa yang digunakannya. Kalau saja kemarahan itu bisa mereka cover dalam bahasa yang lebih santun dan bermoral, maka persoalan ini tidak akan terjadi. Bagi saya sendiri, setelah mendengar ucapan itu, saya merasa marah. Kenapa dia menggunakan kata seperti itu ketika dia kesal.
Salah satunya itu. Namun perkataan itu berawal dari kekesalan mereka atas kebobrokan kondisi kita. Hingga kini, koruptor lepas namun penjahat kecil terus ditangkapi. Dengan pemikiran mereka yang masih muda dan belajar filsafat tanpa akidah yang kuat, yang keluar adalah hal itu. Permasalahannya ada pada bahasa yang digunakannya. Kalau saja kemarahan itu bisa mereka cover dalam bahasa yang lebih santun dan bermoral, maka persoalan ini tidak akan terjadi. Bagi saya sendiri, setelah mendengar ucapan itu, saya merasa marah. Kenapa dia menggunakan kata seperti itu ketika dia kesal.
Pendongkelan dan
pendangkalan akidah kini makin kasat mata dan terang-terangan dilakukan di
dalam masyarakat. Apa yang bisa kita lakukan?
Apabila pendangkalan akidah yang dimaksud akan mengarah pada atheis atau komunis, saya balik bertanya kenapa kita takut pada faham-faham itu? Kalau kita takut pada atheis atau pada suatu hal, maka ada sesuatu yang tidak beres. Ketidak beresan ini, bergantung pada diri kita sendiri. Kita tidak perlu takut pada komunis, toh komunis, di negerinya sendiri seperti Rusia, dan RRC, hancur kok. Alasannya karena mereka tidak punya pesantren, majlis ulama, IAIN, FUUI, dan masjid. Tapi kalau ini terjadi di Indonesia, saya hanya ingin tersenyum. Kenapa mesti takut? padahal kita mempunyai ribuan masjid, kiai, pesantren, kenapa takut? Dengan kekuatan ini, saya yakin atheis ataupun komunis tidak akan berhasil tumbuh. Namun atheis bisa muncul jika terjadi kesenjangan sosial. Seharusnya kita membuktikan bahwa atheis itu salah. Namun bagaimana kita bisa membuktikan kalau kita sendiri tidak mengenal atheis dan komunis, tanpa mempelajarinya.
Apabila pendangkalan akidah yang dimaksud akan mengarah pada atheis atau komunis, saya balik bertanya kenapa kita takut pada faham-faham itu? Kalau kita takut pada atheis atau pada suatu hal, maka ada sesuatu yang tidak beres. Ketidak beresan ini, bergantung pada diri kita sendiri. Kita tidak perlu takut pada komunis, toh komunis, di negerinya sendiri seperti Rusia, dan RRC, hancur kok. Alasannya karena mereka tidak punya pesantren, majlis ulama, IAIN, FUUI, dan masjid. Tapi kalau ini terjadi di Indonesia, saya hanya ingin tersenyum. Kenapa mesti takut? padahal kita mempunyai ribuan masjid, kiai, pesantren, kenapa takut? Dengan kekuatan ini, saya yakin atheis ataupun komunis tidak akan berhasil tumbuh. Namun atheis bisa muncul jika terjadi kesenjangan sosial. Seharusnya kita membuktikan bahwa atheis itu salah. Namun bagaimana kita bisa membuktikan kalau kita sendiri tidak mengenal atheis dan komunis, tanpa mempelajarinya.
Apa yang bisa
dilakukan umat Islam untuk membentengi diri dari arus ghazwul fikr (perang
pemikiran) yang makin deras?
Jawabannya sederhana, yakni harus ada yang belajar filsafat. Tidak usah semuanya, hanya orang-orang pintar yang akidahnya sudah benar, untuk menghadapi filsafat yang luar biasa. Karena filsafat membicarakan tentang tuhan, keadilan, kalau kita mau hancurkan mereka tidak akan bisa kalau hanya dilarang harus ada orang yang dapat membuktikan bahwa itu tidak benar. Kita harus bisa membuktikannya jangan hanya melalui pelarangan saja.
Benarkah metode dakwah yang dikembangkan selama ini kurang mengena?
Metode dakwah tidak bisa hanya dengan kata-kata harus ada pemecahannya. Seperti kasus keluar Islam karena mi instan. Apa yang sebenrnya terjadi? yang terjadi adalah kenapa kita tidak memberi mi instan. Seharusnya dakwah mampu menjaga umat tetap senang dalam Islam. Bukan hanya ngomong kamu salah. Kalau mereka pindah agama itu kesalahan kita, karena dakwah kita hanya omong. Dakwah mereka sudah menggunakan lambang ekonomi. Kesimpulannya, metode dakwah, dan pembelajaran Islam, tidak akan punya kemampuan untuk mengatasi kesulitan hidup, membuat orang amanah, kerja keras. Karena isinya hanya doktrin-doktrin eskatalogis, tentang malikat dengan lainnya. Harusnya ada penguatan di dalam diri umat. Jangan jadikan dakwah sebatas dongeng tentang malaikat. Namun sudah waktunya mengurus dakwah dengan cara liberal. Saya tidak setuju, tapi saya bisa maklum.
Jawabannya sederhana, yakni harus ada yang belajar filsafat. Tidak usah semuanya, hanya orang-orang pintar yang akidahnya sudah benar, untuk menghadapi filsafat yang luar biasa. Karena filsafat membicarakan tentang tuhan, keadilan, kalau kita mau hancurkan mereka tidak akan bisa kalau hanya dilarang harus ada orang yang dapat membuktikan bahwa itu tidak benar. Kita harus bisa membuktikannya jangan hanya melalui pelarangan saja.
Benarkah metode dakwah yang dikembangkan selama ini kurang mengena?
Metode dakwah tidak bisa hanya dengan kata-kata harus ada pemecahannya. Seperti kasus keluar Islam karena mi instan. Apa yang sebenrnya terjadi? yang terjadi adalah kenapa kita tidak memberi mi instan. Seharusnya dakwah mampu menjaga umat tetap senang dalam Islam. Bukan hanya ngomong kamu salah. Kalau mereka pindah agama itu kesalahan kita, karena dakwah kita hanya omong. Dakwah mereka sudah menggunakan lambang ekonomi. Kesimpulannya, metode dakwah, dan pembelajaran Islam, tidak akan punya kemampuan untuk mengatasi kesulitan hidup, membuat orang amanah, kerja keras. Karena isinya hanya doktrin-doktrin eskatalogis, tentang malikat dengan lainnya. Harusnya ada penguatan di dalam diri umat. Jangan jadikan dakwah sebatas dongeng tentang malaikat. Namun sudah waktunya mengurus dakwah dengan cara liberal. Saya tidak setuju, tapi saya bisa maklum.
Lalu apa yang bisa
dilakukan terkait kondisi ini?
Ada dua cara. Pertama, selektivitas, dan yang kedua, proses pembelajaran. Selektifitas telah diusulkan untuk lebih ketat, contohnya untuk tafsir hadis, seharusnya mahasiswa yang masuk telah menguasai Al quran. Proses pembelajaran mereka yang lebih penting dari seleksi. Di situ komitmen dosen juga dilihat. Saya harus mengakui, kurikulum harus dievaluasi, karena hal yang menyangkut akidah dan akhlak sangat kurang. Tapi itu tidak terjadi di IAIN saja, tetapi juga terjadi di SMA. Mata kuliah dasar, komponen fakultas, dan 40 persen komponen lokal yang bisa diubah. Disitulah kita bermain. Kurikulum harus dikembangkan, jangan hanya menerima. ***
Ada dua cara. Pertama, selektivitas, dan yang kedua, proses pembelajaran. Selektifitas telah diusulkan untuk lebih ketat, contohnya untuk tafsir hadis, seharusnya mahasiswa yang masuk telah menguasai Al quran. Proses pembelajaran mereka yang lebih penting dari seleksi. Di situ komitmen dosen juga dilihat. Saya harus mengakui, kurikulum harus dievaluasi, karena hal yang menyangkut akidah dan akhlak sangat kurang. Tapi itu tidak terjadi di IAIN saja, tetapi juga terjadi di SMA. Mata kuliah dasar, komponen fakultas, dan 40 persen komponen lokal yang bisa diubah. Disitulah kita bermain. Kurikulum harus dikembangkan, jangan hanya menerima. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar