SUATU hari saya chat WhatsApp dengan Dr Haidar Bagir, seorang pakar tasawuf dan filsafat sekaligus penulis buku-buku yang bertemakan spiritualitas.
Dalam obrolan singkat, saya bertanya tentang hagiografi sufi. Haidar menjawab bahwa hagiografi sufi merupakan catatan yang memuat kisah atau riwayat yang berkaitan dengan syathahat dan kasyf dari seorang tokoh sufi atau ulama yang memiliki kelebihan dan kemuliaan dalam irfan nazhariah maupun amaliah.
Meski termasuk dalam pengalaman individual, tetapi tidak bisa disebut ahistoris dan perlu pembuktian untuk sampai bisa disebut historis.
Sayangnya, percakapan dengan Haidar terpotong karena jaringan internet yang terputus. Dari obrolan singkat itu saya memahami bahwa hagiografi termasuk unik dan butuh pendalaman untuk memasukinya.
Dalam disiplin teologi (ilmu kalam) mungkin bisa mudah dipahami karena banyak ditemukan nash-nash dalam al-quran dan hadis Rasulullah saw yang menyajikan indikasi pada fenomena keunikan yang tidak mudah dipahami secara rasional karena lebih berupa keyakinan yang dipegang (doktrin).
Sekarang kita masuk pada upaya menggali atau melakukan studi hagiografi sebagai khazanah historiografi Islam.
Berdasarkan diskusi kelas di Pascasarjana UIN Bandung bersama Dr Ajid Thohir bisa diringkas bahwa hagiografi memiliki tiga unsur.
Pertama bahwa dalam catatan hagiografi terdapat rawi (penyampai/pelapor) dan saksi (orang yang melihat) kejadian dan peristiwa unik yang diperlihatkan tokoh. Tentu saja untuk rawi dan saksi ini agar sampai pada akurasi data yang valid perlu diuji (takhrij) dari personalitas seperti kejujuran dan pengakuan dari orang banyak (mutawatir).
Meski memang mirip dengan telaah hadis, tetapi dalam kajian sejarah tidak terlalu ketat karena aspek yang diambil dari hagiografi adalah ibrah. Tidak seperti hadis yang berimplikasi hukum dan peribadahan yang harus benar-benar otentik dari otoritas Islam: Allah dan Rasul-Nya.
Kedua adalah personalitas tokoh yang dituliskan dalam hagiografi sebagai pelaku sejarah (agent of history). Sebagaimana sudah menjadi konsensus dalam ilmu sejarah bahwa sejarah bersifat ideographic (menuturkan peristiwa dan kejadian) dan cronicus/diachronic (memanjang dalam waktu).
Dalam konteks ini, seorang pelaku sejarah adalah manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Kehidupan manusia (tokoh) inilah yang menjadi sejarah—jika dituliskan secara kronologis dengan berbagai peran dan pribadi beserta aktivitasnya. Banyak tokoh dalam sejarah Islam yang dituliskan oleh muridnya atau yang menulis sendiri autobiografi (catatan memoir) kemudian menjadi warisan bagi para murid dan keluarganya.
Dalam sejarah umat Islam, banyak ulama mazhab yang kiprah dan sejarah hidupnya dimuat dalam kitab manaqib yang ditulis oleh para muridnya. Dalam kitab manaqib tentunya ada peran rawi dan saksi, seperti para sahabat, murid, dan keluarga dari tokoh yang dituliskan dalam manaqib. Jika pun ditemukan kitab biografi ditulis sendiri oleh tokohnya maka bisa disebut autobiografi. Untuk menguji otentitas dari karya autobiografi tersebut perlu dikonfirmasikan pada orang-orang terdekat atau yang pernah berhubungan dengan tokoh tersebut. Jika benar maka catatan atau karya yang disandarkan pada tokoh tersebut bisa diakui sebagai sumber sejarah. Dalam hal ini, sesuai dengan kaidah riset sejarah maka perlu melakukan kritik internal dan eksternal untuk sampai pada otentisitas peristiwa atau tokoh, atau pun naskah (karya).
Ketiga adalah realitas karamah yang dialami sang tokoh (manusia) secara individu atau peristiwa yang dirasakan dan dilihat sendiri yang tak melibatkan orang banyak; atau yang berada di luar ruang dan waktu berupa mimpi dan ekstase (hilang kesadaran). Karena fenomena tersebut berlaku dalam ranah kajian non empiris maka dibutuhkan penjelasan dengan menggunakan interpretasi filsafat, tasawuf, psikologi, dan teologi.
Secara singkat dalam hagiografi terdapat unsur tokoh, rawi atau saksi, dan realitas karamah. Jika dihubungkan dengan kaidah ilmu sejarah, hanya dua unsur yang masuk dalam ranah historis: rawi atau saksi dan tokoh.
Sementara realitas karamah berada di luar ruang dan waktu dunia nyata, meski dialami dan dirasakan sang tokoh. Amat sulit untuk disebut realitas empiris karena paradigma historis didasarkan pada pengalaman manusia yang tampak dan terlihat, yang didasarkan pada ruang dan waktu disertai dengan evidensi yang faktual dan kronologis. Hal-hal yang non faktual masuk dalam pengalaman kejiwaan, yang tentunya ini terkait dengan tekanan hidup atau persoalan batin yang melingkupi sang tokoh (manusia).
Karena itu, yang dibutuhkan adalah standar evidensi agar realitas non faktual masuk dalam realitas empiris. Inilah kekurangan ilmu sejarah yang didasarkan paradigma modern (positivistik), yang hanya didasarkan pada logico empirico (kahartos sareng kabuktos). Di luar yang dua hal itu kerap diabaikan dan masuk dalam disiplin berupa teosofi, teologi, dan mistisisme.
Dalam Sejarah
Apabila melihat sejarah peradaban Islam, muarikhin abad 8 hingga kemunculan Ibnu Khaldun, tulisan sejarah tidak terstruktur seperti kaidah ilmiah (modern). Misalnya dalam Sirah Ibnu Hisyam jilid awal disajikan kisah keajaiban sahabat dan murid Nabi Isa as sampai tradisi jahiliah bangsa Arab. Kemudian dalam kitab Tarikh Thabary jilid awal pun tidak jauh berbeda memuat kisah para Nabi Allah dengan mukjizat yang dimilikinya, termasuk orang-orang terdahulu yang memiliki kisah-kisah irasional.
Karya sejarah mulai "menghistoris" ketika Ibnu Khaldun menyajikan tulisan sejarah yang kritis dan memfokuskan pada sejarah berupa kejadian atau peristiwa yang dialami umat Islam. Kemudian ada muarikh lainnya, yang menulis sejarah dengan hanya memuat peristiwa dan kejadian atau pengalaman hidup tokoh yang benar-benar terjadi dan terbukti. Dan bentuk historiografi pun menjadi beragam dan mampu menyajikan sejarah umat Islam tanpa tema politik maupun kekuasaan. Misalnya Al-Biruni menulis "Tarikh Al-Hindi" dengan menyajikan sejarah India dengan kajian demografi, geografi, dan antropologis. Ibnu Batuthah menulis "Rihlah Ibnu Batuthah" tentang catatan perjalanan dari Timur Tengah sampai Nusantara yang disajikan penuh cerita pandangan mata berupa masyarakat dan disisipi sedikit opini darinya.
Mengapa tulisan model muarikhin awal tidak lagi muncul? Ini mungkin karena tidak adanya (akademisi) yang tertarik untuk melirik hal-hal yang non empiris karena dalam khazanah ilmu pengetahuan yang dikembangkan kaum positivis, telah dipisahkan antara yang ilmiah dan non ilmiah, yang rasional dan irasional. Hal ini bermula dari masa renaisans pascadominasi kaum agamawan di Barat. Hal ini berimplikasi pada Dunia Islam yang berinteraksi dalam bentuk pembelajaran di Barat dan pengaruh ilmu pengetahuan yang dibawa orang Barat sebagai bentuk kemajuan zaman.
Sebagai upaya merintis kembali, atau mengembalikan khazanah sejarah umat Islam abad klasik dan abad pertengahan, maka sangat penting untuk memuat tulisan yang bercorak hagiografi sehingga dalam historiografi Islam mencakup seluruh dimensi manusia berupa kejiwaan (psycho), penalaran (rational), inderawi (eksperience), dan realitas kehidupan manusia.
Memang sebelumnya sudah dirintis oleh kalangan Kristen yang memuat pengalaman beragama para santo, pendeta, dan tokoh agama mereka. Sayangnya dalam khazanah ilmu sejarah modern, studi hagiografi tidak diakui sebagai historiografi (dalam khazanah sejarah modern).
Memang sekarang ini sudah muncul gerakan dan filsafat postmodernisme yang mengkritik kelemahan paradigma modern yang positivistik, sehingga sarjana Muslim memiliki peluang untuk menggali hal-hal yang ditinggalkan kaum postivis. Jika masih tetap manut dengan paradigma positivistik, maka ilmu pengetahuan menjadi stagnan karena akan banyak fenomena yang diabaikan. Padahal seluruh semesta dan diri manusia, terdapat rahasia “pengetahuan” yang jika mampu menyingkapnya akan membuat ilmu pengetahuan manusia terus menyempurna. Beranikah mengambil peran dalam hal ini? ***
Bandung, 13 Desember 2015
AHMAD SAHIDIN adalah mahasiswa program studi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar