Salah satu topik dalam bidang ‘Ulum al-Qur`an
adalah Qashash al-Qur`an (Kisah-kisah dalam al-Qur`an). Topik ini dikaji dengan
dasar pemikiran bahwa salah satu isi kandungan al-Qur`an yang cukup menonjol
serta memiliki fungsi praktis dalam dunia tarbiyah dan dakwah adalah
kisah-kisah. Al-Qur`an menuturkan kisah sejumlah nabi dan rasul yang diutus ke
kaum mereka masing-masing. Kepada kaumnya para nabi dan rasul mengajak untuk
menyembah hanya kepada Allah dan menjauhi berhalaisme, tuhan-tuhan palsu
bikinan khayalan mereka sendiri.[i]
Kisah dalam Al-Qur’an menurut Shalah al
Khalidy diturunkan Allah agar manusia mengetahui dan mengambil pelajaran dari
kisah-kisah tersebut.[ii]
Sejak menerima wahyu pertama di gua Hira, Muhammad
bin Abdullah mengemban amanat nubuwwah
dari Allah SWT untuk membawa agama Islam ke tengah-tengah manusia. Nubuwwah ini
ternyata merupakan sebuah ajaran yang merombak seluruh sistem sosial, terutama
sistem hukum yang ada pada masyarakat Jahiliyyah.[iii]
Islam datang ke tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah dengan membawa syari'ah
(sistem hukum) yang sempurna sehingga mampu mengatur relasi yang adil dan
egaliter antar individu manusia dalam masyarakat. Secara prinsip, kemunculan
Nabi Muhammad saw dengan membawa ajaran-ajaran egaliter, dapat dinilai sebagai
sebuah perubahan sosial terhadap kejahiliyyahan yang sedang terjadi di dalam
masyarakat, terutama sistem hukumnya, dengan wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.[iv]
Dalam tugas kenabiannya, Nabi Muhammad SAW
mendapatkan petunjuk dari Allah berupa kitab suci al-Quran. Ia diturunkan untuk
memberikan petunjuk kepada umat manusia kearah tujuan yang terang dan lurus,
dengan senantiasa menegakkan pondasi kehidupan yang didasarkan atas keimanan
dan ketakwaan kepada Allah dan risalah-Nya[v].
Kesempurnaan petunjuk Al-Qur’an tercermin
dalam tema-tema yang dikandungnya mencakup seluruh kehidupan manusia, seperti
pola hubungan dengan Tuhan, hubungan antara manusia dan hubungan manusia dengan
lingkungan sekitarnya. Ajaran-ajaran Al-Qur’an yang memuat petunjuk bagi
manusia disampaikan secara fariatif, ada yang berupa informasi, larangan,
perintah, dan juga berbentuk kisah-kisah yang mengandung pelajaran bagi
manusia.[vi]
Khalafullah mengatakan, seorang nabi atau
rasul diutus kepada umatnya sebagai salah satu pembaharu. Mereka diutus untuk
memperbarui bangunan sosial bangsanya dengan menyuguhkan perlbagai gagasan dan
pemikiran serta memperbarui pola piker umat. Quran sering menggambarkan seorang
nabi atau rasul sebagai penyelamat kaumnya dari penjajahan dan kemiskinan.[vii]
Para nabi dan rasul membawa nilai-nilai yang
bisa membawa kaumnya pada perubahan. Al-Quran menggambarkan, kaum di mana
diturunkan seorang nabi atau rasul di dalamnya merupakan kaum yang jumud,
statis, dan mengikuti tradisi nenek moyang mereka. Al-Quran menggambarkan mereka
sebagai kaum yang lalai.[viii]
Khalafullah menuturkan, konsep pembaharuan ini
dibungkus oleh ajaran tauhid. Tauhid ini menjadi alat pemersatu pandangan
ideologis kaumnya yang dapat dijadikan landasan untuk berpikir dan berbuat.
Segala macam perpecahan dan perbedaan pendapat diselesaikan sehingga terlepas
dari kepentingan masing-masing, karena akidah mejadi titik temu segala
pemikiran.[ix]
Secara umum, periode Makkah pra-Islam disebut
sebagai periode Jahiliyyah yang berarti kebodohan dan barbarian. Secara nyata,
dinyatakan oleh Philip K. Hitti, masyarakat Makkah pra-Islam adalah masyarakat
yang tidak memiliki takdir keistimewaan tertentu (no dispensation),
tidak memiliki nabi tertentu yang terutus dan memimpin (no inspired prophet)
serta tidak memiliki kitab suci khusus yang terwahyukan (no revealed book)
dan menjadi pedoman hidup.[x]
Islam datang ke tengah-tengah masyarakat
Jahiliyyah dengan membawa syari'ah (sistem hukum) yang sempurna sehingga
mampu mengatur relasi yang adil dan egaliter antar individu manusia dalam
masyarakat. Secara prinsip, kemunculan Nabi Muhammad saw dengan membawa
ajaran-ajaran egaliter, dapat dinilai sebagai sebuah perubahan sosial terhadap
kejahiliyyahan yang sedang terjadi di dalam masyarakat, terutama sistem
hukumnya, dengan wahyu dan petunjuk dari Allah SWT.[xi]
Namun, tentu saja ajaran-ajaran Rasulullah ini
mendapat pertentangan dari kalangan Quraisy. Maka, sebagai petunjuk dan metode dakwah
menghadapi Quraisy itu, diturunkanlah kisah-kisah umat terdahulu kepada Rasulullah.
Jadi dapat dikatakan, kisah al-Quran menjelaskan kesatuan metode dan sarana
para nabi dalam berdakwah, kesatuan sikap mereka dalam menghadapi masyarakat,
bagaimana sikap masyarakat dalam menanggapi ajakan mereka, dan kesamaan
adat-istiadat yang berlaku di dalam masyarakat ketika mereka mulai berdakwah.[xii]
Quraish Shihab[xiii]
menjelaskan, sebagian besar dari masyarakat awal masa Islam menolak ajaran
Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan
adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya
maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu
Sufyan: "Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan nubuwwah,
kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami."
Kisah-kisah dalah al-Quran seolah menjadi pembanding
antara kehidupan dan dakwah rasul terdahulu dengan kondisi yang dihadapi
Muhammad SAW saat itu. Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang mengungkap
keengganan kaum terdahulu untuk berubah. Mereka sepertinya nyaman dan enggan
meninggalkan tradisi yang diturunkan oleh bapak atau nenek moyang mereka.
”Dan apabila dikatakan kepada mereka
:”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. Mereka menjawab :”(Tidak), tetapi
kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang
kami”. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu
tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al Baqoroh
ayat 170)
Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga
tiga hal yang mereka pertahankan secara turun temurun. Ketiga hal tersebut
adalah aspek religious, aspek kekuasaan dan kelas sosial, dan aspek sosial
ekonomi. Ketiga aspek tersebut berusaha mereka pertahankan sekuat tenaga dalam
tradisi hidup mereka. Hal inilah yang menjadi sebab mengapa mereka menjadi
pembangkang dan penolak risalah.
Aspek Religius
Salah satu ajaran utama pengutusan para rasul
adalah ajaran tauhid. Ajaran ini berusaha menyadarkan manusia untuk mengenal
tuhan penciptanya (referensi). Kisah-kisah dalam al-Quran banyak sekali
menggambarkan keengganan suatu kaum untuk berpindah ke ajaran baru. Mereka
biasanya akan mengatakan bahwa mereka telah mempunyai ajaran sendiri dan akan
mempertahankannya sekuat tenaga.
Bangsa Arab Jahiliyah mempunyai beberapa
berhala sebelum kedatangan nabi Muhammad SAW. Ajid Thohir mengatakan, pada masa
itu kehidupan bangsa Arab menjadi kehidupann yang penuh dengan kegelapan,
kemusyrikan, dan kesesatan pemikiran. Dan ini berlangsung sangat lama, sejak
Amr b. Luhay memasukan isme berhala ke negerinya[xiv].
Ketika Rasulullah SAW berdakwah kepada Quraisy supaya meninggalkan ajaran yang
telah mereka terima secara turun temurun, ajakan ini mendapat perlawanan.
Persis yang dialami oleh nabi-nabi terdahulu.
Dalam kisah Nuh as, masyarakat saat itu
mempunyai tradisi menyembah tiga dewa bernama
Wad, Suwa, Ya’uq, dan Nasr[xv].
Seperti yang tercantum dalam al-Quran surat Nuh ayat 23.
Di tengah-tengah kemusyrikan mereka, diutuslah
Nabi Nuh as. Beliau bertugas untuk mengajak kaumnya supaya bertobat,
meninggalkan sesembahan mereka, dan kembali ke ajaran Allah. Tugas ini tertulis
dalam al-Quran dalam QS. Al A’raaf: 59. Dakwah nabi Nuh merupakan perjalanan
dakwah yang sangat luar biasa. Jenis dakwah ini memang sangat membutuhkan usaha
yang sagat gigih. Karena semakin mereka didakwahi, semakin mereka berpaling
dari beliau. Dan Nuh as melakukan dakwah dari hari ke hari dengan sabar.
Upaya untuk mempertahankan tradisi ini
dilakukan pula oleh Kaum Tsamud. Mereka
adalah kaum yang memahat gunung untuk dijadikan tempat tinggal mereka. Mereka
dikaruniai nikmat yang sangat besar dengan tanah subur, air melimpah, dan
tanaman dan buahan-buahan yang banyak. Akan tetapi sayangnya mereka ingkar dan
tidak menyembah Allah.
Di tengah kaum Tsamud, diutuslah nabi Shalih
as yang mengajak mereka untuk meninggalkan sesembahan yang nenek moyang mereka
turunkan. Shalih as terus berusaha berdakwah walaupun mengalami banyak sekali
penolakan karena keengganan mereka meninggalkan sesembahan mereka.
“Wahai Shalih, sesungguhnya kamu sebelum ini
adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, apakah kamu melarang kami
untuk menyembah apa yang disembah oleh bapak-bapak kami? Dan sesungguhnya kami
betul-betul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan
kepada kami.” (QS. Huud: 62-63)
Hal serupa dihadapi oleh nabi Syuaib as yang
terus berdakwah membawa kaumnya, Madyan, ke arah kebenaran. Akan tetapi,
kaumnya tetap tidak menerima nasihat dan dakwahnya, bahkan mereka berkata
kepada Nabi Syu’ab sambil mengolok-olok.
“Wahai Syu’aib! Apakah shalatmu menyuruh kamu
agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak kami atau melarang
kami berbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami. Sesungguhnya kamu
adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal.” (QS. Huud: 87)
Dalam kisahnya, Nabi Ibrahim mendapatkan
kaumnya menyembah berhala di Babil[xvi].
Saat nabi Ibrahim as keluar menuju tempat peribadatan kaumnya untuk mengajak
kaumnya menyembah Allah, saat sampai di sana, Beliau mendapatkan kaumnya sedang
tekun menyembah patung yang banyak jumlahnya, mereka menyembahnya, merendahkan
diri di hadapannya serta meminta dipenuhi kebutuhan mereka kepadanya. Setelah
beliau bertanya tentang alasan menyembah patung-patung tersebut, mereka
menjawab:
“Kaumnya menjawab, “Kami mendapati bapak-bapak
kami menyembahnya. Ibrahim berkata lagi, “Sesungguhnya kamu dan bapak-bapakmu
berada dalam kesesatan yang nyata.”” (QS. Al Anbiyaa’: 53-54)
Aspek kekuasaan
Salah satu alasan mengapa aljaran Islam
ditolak masyarakat jahiliyah adalah sifat egaliternya. Islam membawa pesan
rahmatan lil alamin yang memandang manusia dalam derajat yang sama. Di dalam
al-Quran, biasanya yang menolak ajaran
yang diserukan para rasul disebut sebagai al-mala[xvii],
yaitu kaum elite, para pembesar, kalangan terkemuka, mereka yang punya kuasa
dan harta.
Dalam sejarah, Nabi Muhammad saw beserta para
pemeluk Islam awal benar-benar membuat sikap kontra terhadap sistem hukum
Jahiliyyah dalam perilaku dan tindak tanduk mereka, sehingga mendapatkan
pertentangan yang keras dari para tokoh penegak sistem hukum Jahiliyyah. Dan
bahkan kemudian, pendekatan Muhammad saw sebagai pembawa Islam awal terhadap
kelompok yang 'terpinggirkan' dalam stratifikasi sosial untuk membawa ajaran
Islam di masyarakat, juga menjadi poin penting dalam konsekuensi tersebut.[xviii]
Mengutip dari Montgomery Watt, Sulhani
Hermawan mengatakan bahwa karakter feudal pada hukum Arab pra-Islam tergambar
dengan adanya superioritas yang dimiliki oleh kaum kaya dan kaum bangsawan di
atas kaum miskin dan lemah. Kehidupan dagang yang banyak dijalani oleh orang
Arab Makkah pada waktu itu –yang mengutamakan kesejahteraan materi-[xix]
menjadikan tumbuhnya superioritas golongan kaya dan bangsawan di atas golongan
miskin dan lemah. Kaum kaya dan bangsawan Arab pra-Islam adalah pemegang tampuk
kekuasaan dan sekaligus menjadi golongan yang makmur dan sejahtera di Makkah,
kebalikan dari kaum miskin dan lemah.[xx]
Al-Quran dengan terang-terangan mengakui bahwa
manusia mempunyai derajat yang sama. Ajaran ini membuat perbudakan pada masa
Jahiliyah dihapuskan dan otomatis membuat posisi budak sejajar dengan para
majikannya.[xxi]
Begitu pula dalam menjelaskan posisi perempuan yang selama masa Jahiliyah tidak
mempunyai nilai.[xxii]
Kebijakan ini tentu saja mendapat reaksi penolakan dari kubu Quraisy.
Untuk memberi petunjuk kerpada rasul-Nya,
Allah menurunkan kisah-kisah para nabi ketika berhadapan dengan masalah
kekuasaan dan kelas. Dalam kisah-kisah tersebut tergeambar beberapa fragmen
ketika umat terdahulu menolak mengikuti para ajaran nabi karena kesombongannya.
Seperti disebutkan dalam QS Hûd ayat 50, Nabi
Hûd as. diutus kepada kaum ‘Âd. Kaum ‘Âd adalah kaum yang pertama kali
menyembah patung-patung berhala setelah terjadinya topan yang menghancurkan
para pembangkang dari kaum Nabi Nûh as. Patung sesembahan mereka ada tiga:
Shadd, Shamûd, dan Harâ.[xxiii]
Sikap kaum ‘Âd terhadap seruan Nabi Hûd as.
digambarkan QS al-A’râf ayat 66:
“Sesungguhnya Kami benar-benar memandang kamu
dalam keadaan kurang akal dan sesungguhnya kami menganggap kamu termasuk
orang-orang yang berdusta.” (QS. Al A’raaf: 66)
Ayat ini menggambarkan adanya penindasan satu
pihak atas pihak lain. Pihak penindas adalah al-malâ`, sedang pihak tertindas
adalah Nabi Hûd as. Penindasan al-malâ` atas Nabi Hûd as. terlihat pada dua
hal: Pertama, pandangan mereka bahwa Nabi Hûd kurang akal, dan kedua, anggapan
mereka bahwa Nabi Hûd adalah pendusta. Bila satu pihak memandang pihak lain
hina, lemah akalnya, atau bahkan pendusta, maka pihak pertama itu akan
terdorong untuk berbuat sewenang-wenang, menindas, dan berlaku tidak adil
terhadap pihak kedua. Dengan kata lain, penindasan terjadi karena satu pihak
memandang pihak lain hina dan lemah.
Fenomena ini juga menimpa nabi Syuaib as yang
merupakan orang yang lemah diantara kaumnya. Mereka menentang Nabi Syu’ayb
bukan hanya karena ia menyerukan menyembah Allah, tetapi terutama karena ia
memerintahkan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan
tuntutan iman kepada Allah seperti mengurangi takaran dan timbangan serta
kegiatan ekonomi lainnya yang merugikan orang lain. Ajaran sosial yang dibawa
Syu’ayb mengancam kepentingan pribadi mereka. Maka berbagai cara mereka gunakan
untuk melawan Syu’ayb dan memberantas ajarannya.[xxiv]
“Wahai
Syu’aib! Kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan
sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami;
kalau tidak karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamu pun
bukanlah seorang yang kuat di sisi kami” (QS. Huud: 91).
Seperti para nabi yang lain, yang mengikuti
seruan Nabi Shâlih pun tak lain dari orang-orang yang oleh para pembesar dan
pemuka masyarakat dianggap hina dan lemah.
Pemuka-pemuka (al-mala) yang menyombongkan
diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang yang dianggap lemah yang
telah beriman di antara mereka: "Tahukah kamu bahwa Shaleh di utus
(menjadi rasul) oleh Tuhannya?". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami
beriman kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya". (QS
al-A’raf: 75).
Nabi Nûh tidak membantah bahwa para pengikut
beliau adalah orang-orang lemah. Kelemahan sekelompok orang dalam masyarakat
pada umumnya disebabkan oleh penindasan kelompok kuat sehingga mereka
terpinggirkan dan tidak memperoleh peluang untuk maju dan kuat. Jika kemudian
muncul dalam masyarakat orang yang menegakkan keadilan dan membela kebenaran,
pastilah yang paling pertama menyambutnya adalah kaum lemah itu dan yang paling
ragu adalah para pemimpin masyarakat. Bahkan mereka ini akan tampil paling
depan membendung penganjur keadilan itu karena khawatir kepentingan mereka
terganggu. Ini adalah sunnatullâh yang berlaku dalam setiap masyarakat, kapan
dan di mana pun.[xxv]
Peristiwa serupa dialami oleh nabi Ibrahim as saat
berdebat dengan raja Namrud. Sebelum diselamatkan oleh Allah swt, Ibrahim harus
dibakar oleh raja yang tidak mau terima dakwah yang dilakukan nabi Ibrahim
tersebut.
Secara jelas, al-Qur'an menolak penggunaan
hukum Jahiliyyah yang dinilai penuh dengan pertimbangan hawa nafsu dan
pemihakan terhadap kelompok tertentu yang berkuasa di dalam masyarakat.
Selanjutnya ditegaskan bahwa hukum Islam merupakan satu-satunya hukum yang
harus dipegangi oleh manusia karena berasal dari Allah SWT dan membawa prinsip
keadilan dan kesetaraan sosial. (Ayat al-Qur'an surat Al-Ma'idah ayat 50
berbunyi, "afa hukma al-jahiliyyati yabghuna. Wa man ahsanu min Allahi
hukman li qawmin yuqinun". Ayat ini didahului dengan ayat yang menerangkan
perintah Allah SWT untuk memerangi dan menggunakan hukum Islam yang telah
diturunkan oleh Allah SWT, lihat surat Al-Ma'idah ayat 48-49).
Aspek Sosial Ekonomi
Selain meluruskan ajaran tauhid, Rasulullah
SAW diutus untuk memperbaiki perilaku hubungan sosial masa jahiliyah. Kisah
nabi Luth as dalam al-Quran menggambarkan bagaimana seorang rasul diutus untuk
memperbaiki kelakuan mereka yang buruk. Di tempat bernama Sadum, Luth melihat
perbuatan keji yang dilakukan penduduk kota itu.
Akhlak penduduk Sadum digambarkan sangat buruk
sekali, mereka tidak menjaga dirinya dari perbuatan maksiat dan tidak malu
berbuat kemungkaran, berkhianat kepada kawan, dan melakukan penyamunan. Di
samping itu, mereka mengerjakan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan oleh
satu kaum pun sebelumnya di alam semesta. Mereka mendatangi laki-laki untuk
melepaskan syahwatnya dan meninggalkan wanita.[xxvi]
Saat itu, Nabi Luth ‘alaihissalam mengajak
penduduk Sadum untuk beriman dan meninggalkan perbuatan keji itu. Beliau berkata
kepada mereka:
“Mengapa kamu tidak bertakwa?”– Sesungguhnya
aku adalah seorang Rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu,–Maka bertakwalah
kepada Allah dan taatlah kepadaku.–Dan aku sekali-kali tidak minta upah
kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semeta
alam.–Mengapa kamu mendatangi jenis laki-laki di antara manusia,– Dan kamu
tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah
orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Asy Syu’ara: 160-161)
Tetapi kaum Luth tidak peduli dengan seruan
itu, bahkan bersikap sombong terhadapnya serta mencemoohnya. Meskipun begitu,
Nabi Luth ‘alaihissalam tidak putus asa, ia tetap bersabar mendakwahi kaumnya;
mengajak mereka dengan bijaksana dan sopan, ia melarang dan memperingatkan
mereka dari melakukan perbuatan munkar dan keji. Akan tetapi, kaumnya tidak ada
yang beriman kepadanya, dan mereka lebih memilih kesesatan dan kemaksiatan,
bahkan mereka berkata kepadanya dengan hati mereka yang kasar, “Datangkanlah
kepada kami azab Allah, jika kamu termasuk orang-orang yang benar.” (QS. Al
‘Ankabbut: 29)
Dalam kisah Madyan, Nabi Syuaib menghadapi umatnya
yang menentang Allah. Mereka juga melakukan praktek ekonomi yang kurang baik
dengan mengurangi timbangan selama melakukan muamalah. Tak ayal, kemudian
Syuaib as mencoba untuk berdakwah. Kegiatan yang dipandang sebagai kegiatan
yang menggangu itu ditentang oleh kaum Madyan, tempat beliau diutus.
“Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyan
saudara mereka, Syu´aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah,
sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang
kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan
timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan
timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan
memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu
orang-orang yang beriman". (QS: Al-A'raf Ayat: 85)
Nabi Syuaib as meningkatkan tekanan dakwah
dengan cara menakuti mereka dengan adzab Allah. Namun, bukan keimanan yang
didapat, kaumnya malah mengusir beliau ke luar kota yang mereka tinggali.
Bahkan kaumnya menuduh Beliau sebagai pesihir dan pendusta (QS. Asy Syu’araa:
185-186). Seperti halnya kaum Tsamud, mereka mengolok-olok adzab yang beliau
ancamkan, bahkan meminta disegerakan.
Kesimpulan
Al-Quran adalah kitab petunjuk bagi umat
Islam. Sebagai kitab penuntun, kitab ini menuntun Nabi Muhammad SAW cara
menghadapi orang-orang Quraisy di Mekah. Pada setiap kisah dalam al-Qur`an,
terutama kisah para nabi, terusung pesan-pesan sosial. Dalam kerangka inilah
seharusnya kisah-kisah dalam al-Qur`an dibaca, dipahami dan dinalar.
Kisah-kisah dalam al-Qur`an bukan kumpulan cerita tanpa tujuan luhur yang
hendak dicapai, bukan pula dongeng yang disajikan sekadar pelengkap-penyempurna
sebuah topik atau pembahasan. Lebih dari itu, kisah-kisah dalam al-Qur`an
membawa misi besar berupa perubahan sosial yang mendasar dan menyeluruh.
Dengan latar belakang hukum Jahiliyyah, Islam
lahir dan muncul dengan membawa perubahan hukum dengan karakter yang bertolak
belakang dengan hukum Jahiliyyah. Pertentangan Quraisy terhadap Islam yang
berkaitan erat dengan aspek keagamaan, kekuasaan, dan aspek sosial ekonomi
merupakan suatu kontra terhadap konsep masyarakat Islam yang adil. Sebagai
implikasinya, pemahaman terhadap kisah-kisah dalam al-Quran merupakan pemahaman
terhadap kondisi yang dihadapi oleh Rasulullah pada masa kenabian. []
HEVI
RIYANTO adalah Mahasiswa S2 Prodi SKI Pascasarjana UIN
Bandung
[ii] Shalah al Khalidy, Kisah-Kisah al Qurnan Pelajaran Bagi Orang-Orang
terdahulu, (Jakatra: Gema Insani, 1999), h. 27.
[iii] Marshal G. S. Hodgson, The Venture of
Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. I The
Classical Age of Islam (Chicago: Chicago University Press, 1974), h. 174.
[iv] Robert
Roberts, The Sosial Laws of the Qur'an: Considered and Compared with Those
of the Hebrew and other Ancient Codes, cet. I (London: Curzon Press, 1990),
h. 2.
[v] Mannan Khalil al Qattan, Mabahis Fi Ulumm al Qurnan, terj.
Mudzakir AS, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 1996), h. 106.
[vi] Mukhammad Chirzin, al Qurnan dan ulumul Qurnan, (Yogyakarta: Dana
Bakti Primayasa, 2003), h. 117
[vii]
Muhammad A. Khalafullah, al-Qashshash fil Quran, terj. Zuhairi Misrawi
dan Anis Maftukhin, (Jakarta: Paramadina, 2002, h. 59.
[viii] QS 36:
6
[ix]
Muhammad A. Khalafullah, loc. cit.
[x] Philip
K. Hitti, History of Arabs from Earliest Times to the Present, edisi
X (London: The Macmillan Press, 1974),
h. 87.
[xi] Robert
Roberts, The Sosial Laws of the Qur'an: Considered and Compared with Those
of the Hebrew and other Ancient Codes, cet. I (London: Curzon Press, 1990),
h. 2.
[xiii] Quraish Shihab, Membumikan al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, cet. 31 (Bandung: Penerbit Mizan, 2007), h. 36.
[xiv] Ajid Thohir, Sirah Nabawiyah: Nabi Muhammad SAW dalam Kajian Ilmu
Sosial Humaniora, (Bandung: Penerbit Marja, 2014), h. 107-108.
[xv] Imam Bukhari meriwayatkan dari hadits Ibnu
Juraij dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas tentang firman Allah Ta’ala, “Dan mereka
berkata, “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu
dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan
pula Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr.” Ia (Ibnu Abbas) berkata, “Ini adalah
nama-nama orang Saleh dari kaum Nabi Nuh. Ketika mereka wafat, setan
membisikkan kepada kaum mereka untuk mendirikan berhala pada majelis mereka dan
menamakannya dengan nama-nama mereka. Maka mereka pun melakukan hal itu, dan
saat itu berhala-berhala itu belum disembah hingga mereka wafat, dan ilmu telah
tiada, maka berhala-berhala itu pun disembah.
[xvii] al-mala muncul di surat al-Baqarah: 246, al-Araf: 60, al-Qhashash: 20,
dan an-Naml 29 (al-Asfahany)
[xviii] Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam
1: The Classical Age of Islam, (Chicago: University of Chicago Press,
1977), h. 174.
[xix] W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and
Statesman, cet. II (Oxford: Oxford University Press, 1969), h. 51-52.
[xx] M.A. Shaban, Islamic History: A New
Interpretation I A.D. 600-750, cet. IX (Cambridge: Cambridge University
Press, 1971), h. 8.
[xxv] Quraish Shihab, Tafsîr al-Misbâh, Jakarta:
Lentera Hati, cet. I, 2002, vol. 5, hal. 22
[xxvi]
http://kisahmuslim.com/kisah-nabi-luth-alaihissalam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar