Tokoh Kafir yang Disebutkan Al-Quran


Ilaahi anta maqsuudi waridlooka mathluubi a’thini mahabbataka wama’rifataka

Al-Qur’an merupakan kitab suci yang didalamnya terdapat macam-macam permasalahan serta pemecahannya. Bahkan Al-qur’an sebagai “petunjuk bagi umat manusia.. ”. Dari 6.236 ayat yang terdapat dalam Kalaamullah tersebut, sebagian berisi tentang studi tokoh. Baik itu tokoh-tokoh pembela Islam dan juga tokoh-tokoh yang terkenal sangat membenci agama Allah ini. Adapun, munculnya para tokoh tersebut menurut tafsiran para ulama, baik itu tokoh yang namanya tersurat ataupun yang tersirat.

Pada makalah ini saya akan menguraikan sedikit dari beberapa orang tokoh, yang namanya diabadikan dalam al-Qur’anul Kariim. Tokoh-tokoh yang saya tulis merupakan tokoh yang hidup pada zaman Rasulullah Saw. Semoga menjadi I’tibar bagi kita yang membacanya. Amiin.

Di antara tokoh-tokoh yang akan dibahas pada makalah ini ialah: Abdullah bin Ubay, Abu Lahab bin Abdul Muthalib, Abu Thalib bin Abdul Muthalib, Al-Hakam bin Hisyam alias Abu Jahal, ‘Amir Ibnuth-Thufail An-Nadhar ibnul-Harits, Ka’ab ibnul-Asyraf, Tsa’labah bin Hathib, Umayyah bin Khala, dan Uqbah bin Abi Mu’ith.


Abdullah bin Ubay
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.”  (al-Munafiqun 1-2)

Sejumlah mufassir dan ahli hadits sepakat bahwa surat al-Munafikuun ayat 1-2 diturunkan berkenaan dengan Abdullah bin Ubay, dedengkot kaum munafik.[1]

Ketika Rasulullah saw. memerangi  Banil-Mushthaliq, beliau singgah di salah satu sumur milik mereka yang dikenal dengan sumur al-Muraisi’. Orang-orang pun bergegas menuju sumur. Saat itu, Umar bin Khatab ditemani seseorang dari Bani Ghifar yang bernama Jahjah bin Mas’ud yang diupah untuk menuntun kuda Umar. Jahjah dan Sinan bin Wabar , teman Ibnu Aun bin al-Kharzraj berebutan mengambil air. Keduanya baku bunuh. Aj-Juhni berteriak, “Hai kaum Anshar!” dan Jahjah berteriak, “Hai kaum Muhajirin”.

Abdullah bin Ubay pun marah. Saat itu dia bersama sekelompok pengikutnya, diantaranya Zaid bin Arqam, seorang anak muda. Dia berkata “apakah mereka telah membunuhnya? Mereka telah mengalahkan golongan dan jumlah kami di negeri kami sendiri. Demi Allah, apa yang kita sediakan untuk orang-orang Quraisy hanyalah sepeti kata para orang tua, ‘Kamu memberi  makan anjingmu hingga gemuk, lalu ia menggigitmu! Demi Allah, jika kami kembali ke Madinah, niscaya kaum yang mulia akan mengusir kaum yang hina dari sana.’”

Dia menghampiri kaumnya yang ada disana lalu berkata “inikah yang telah mereka lakukan terhadap dirimu, padahal kamu membolehkan mereka tinggal di negerimu dan berbagai harta kekayaan dengan mereka. Demi Allah jika kamu menahan milikmu, niscaya mereka beralih ke negeri lain.”[2]

Begitu Zaid bin Arqam mendengar Abdullah bin Ubay berkata demikian, dia langsung menemui Rasulullah saw. Kasus ini terjadi setelah beliau menyelesaikan urusan dengan musuhnya. Zaid menyampaikan ucapan Ubay kepada Nabi saw. yang saat itu tengah bersama Umar bin Khatab. Umar berkata, “Suruhlah Abad bin Basyar membunuhnya”

Rasulullah bersabda “Hai Umar, bagaimana nanti kalau orang membicarakan bahwa Muhammad telah membunuh temannya sendiri”? “ Jangan!”

Rasulullah memerintahkan untuk melanjutkan perjalanan. Begitu memperoleh kabar bahwa Zaid melaporkan perkataan itu, Abdullah bin Ubay datang kepada Rasulullah dan berkata “Aku tidak mengatakan dan mengucapkan hal itu”.

Ubay adalah seorang terpandang dan terhormat dikalangan kaumnya, lalu para sahabat  Nabi dari kalangan Anshar yang tengah berada di dekatnya berkata, “Hai Rasulullah , mungkin anak itu hanya berilusi dan tidak menangkap apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Ubay karena terlampau sayang kepadanya dan ingin membelanya.”

Ibnu Ishak berkata bahwa setelah Rasulullah  saw. juga berangkat secara terpisah dari rombongan. Usaid bin Khidir menemuinya. Setalah menyampaikan salam kenabian dia berkata, “Hai Nabi Allah,, demi Allah engkau dapat beristirahat meskipun dalam suasana yang tidak menyenangkan, padahal sebelumnya engkau tidak pernah melakukannya”

Rasulullah beersabda “apakah kamu tidak mendengar perkataan temanmu?”
“Teman yang mana ya Rasul?” tanya Usaid
“Abdullah bin Ubay”
“Apa yang telah dikatakannya?”
“dia mengatakan bahwa apabila telah tiba di Madinah maka orang terpandang akan mengusir orang hina”.

Usaid berkata “Engkaulah, Hai Rasulullah. Demi Allah, engkaulah yang akan mengusirnya jika engkau mau. Dialah yang hina dan engkaulah yang mulia”. Usaid melanjutkan “Hai Rasulullah, kasihanilah dia. Demi Allah dia telah mengirimmu. Semula kaum Ubay telah merangkai batu sapir supaya dikenakannya sebagai mahkota. Jadi dia berpandangan bahwa engkau telah merampas kerajaannya.”[3]

Kemudian diturunkanlah surat yang menceritakan Ubay dan kaum munafik serta orang-orang yang seperti mereka. Setalah ayat ini turun, Rasulullah saw memegang telinga Zaid bin Arqam seraya bersabda “orang inilah yang Allah telah menyempurnakan penjelasan melalui telinganya”. (HR. Tirmidzi)

Abu Lahab bin Abdul Muthalib
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia! Tidaklah berguna baginya hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak (neraka). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal” (Qs. Al-Lahab: 1-5).

Nama lengkapnya ialah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Dia sering juga dipanggil Abu Utbah. Dan dia dinamai Abu Lahab, karena wajahnya bercahaya. Keluarganya suka meamanggil Abu Lahab, karena kilauan dan ketampanan wajahnya. Allah mencegah niat mereka untuk memanggil Abu Nur. Allah melancarkan lidah mereka untuk memanggilnya dengan Abu Lahab ‘bapak kilauan cahaya api’.

Kata Lahab ini hanya digunakan untuk, menunjukan sesuatu yang buruk dan tidak disukai, yaitu api neraka. Kemudian Allah menjadikan hal  itu sebagai kenyataan dengan menjadikan neraka sebagai tempat tinggalnya[4].

Ibnu Abbas r.a berkata: “ketika diturunkan ayat, ‘’Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat ‘ , Rasulullah pergi lalu naik ke Bukit Shafa. Dia berseru, ‘Hai orang-orang yang menikmati pagi!’”

Lalu orang-orang berdatangan mengelilinya. Nabi bersabda “Hai saudaraku, Bagaimana menurut pendapat kalian jika aku memberitahukan kepada kalian bahwa seekor kuda muncul dari kaki bukit ini, apakah kalian akan mempercayaiku?”

Mereka menjawab ‘kami tidak pernah didustai olehmu’. Beliau melanjutkan, ‘aku memperingatkan kepada kalian bahwa dihadapanku ada azab yang besar.

Abu Lahab berkata, ‘celakalah kamu ! apakah kamu mengumpulkan kami hanya untuk ini?’
Abu Lahab beranjak pergi. Kemudian turunlah ayat ‘Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan binasalah dia.’ (al-Lahab : 1).

Ketika istrinya mendengar bahwa ada ayat al-Qur’an yang diturunkan berkenaan dengan suaminya, dia menemui Rasulullah saw. Saat itu beliau tengah duduk di mesjid dekat Ka’bah bersama Abu Bakar. Dia membawa batu. Setelah dekat, Allah merampas penglihatannya sehingga tidak dapat melihat Rasulullah saw, dan hanya melihat Abu Bakar.

Dia berkata ,’hai Abu Bakar, aku menerima kabar bahwa temanmu telah mengejekku. Demi Allah jika aku menjumpainya, niscaya kulempar mulutnya dengan batu  ini.’

Dia pun berlalu. Abu Bakar berkata, ‘Hai Rasulullah apakah dia tidak melihatmu?’ beliau menjawab ‘dia tidak melihatku. Allah membuat matanya tidak dapat melihatku’.

Kaum Quraisy suka memanggil Muhammad sebagai pencela. Mereka mencacinya. Beliau bersabda ‘setelah Allah melindungiku dari gangguan kaum Quraisy, bukankah mengherankan apabila mereka masih mencaci dan mengejekku dengan menyebutku sebagai pencela, padahal namaku Muhammad.?’

Ketika ada utusan yang datang menemui Rasulullah, Abu Lahab selalu berkata ‘sesungguhnya dia adalah pendusta dan tukang sihir’. Merekapun pulang dan tidak menemui beliau.

Pada kesempatan lain, datang pula sebuah utusan. Abu Lahab melakukan tindakan seperti yang dilakukaknya kepada utusan pertama. Namun mereka berkata ‘Kami tidak akan pulang sebelum melihat dan mendengar perkataannya’.

Abu Lahab berkata kepada mereka, ‘sesungguhnya kami senantiasa mengobatinya . mampus dan celakalah dia.’

Rasulullah menerima kabar tentang ucapan Abu Lahab, dan beliau berduka. Lalu Allah menurunkan ayat  Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan binasalah dia.’ (al-Lahab : 1).[5]

Abu Thalib bin Abdul Muthalib
“Tiadalah sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam. Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah Karena suatu janji yang Telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat Lembut hatinya lagi Penyantun.” (Qs. At-Taubah: 113-114)

Abu Thalib bin Abdul Muthalib ialah paman Rasulullah saw. yang  menanggung kehidupan beliau setelah Abdul Muthalib wafat. Abu Thalib merupakan ‘tameng’ bagi Rasulullah saw. yang  melindungi beliau dari kaum kafir, sehingga tidak ada seorang pun di antara mereka yang menyakitinya. Abu Thalib sangat begitu menyayangi Rasulullah. Namun, ternyata sampai ajalnya tiba, Abu Thalib tidak pernah mengucapkan dua kalimat syahadat yang merupakan gerbang memasuki agama Islam.

Diriwayatkan dari Sa’id ibnul-Musayyab, dari ayahnya yang berkata, “tatkala menjelang ajalnya Abu Thalib, Nabi saw menjenguknya. Disana ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayah.

Nabi bersabda :’ hai paman, ucapkanlah ‘tiada tuhan melainkan Allah’ bersama-sama aku. Ia merupakan kalimat yang akan aku gunakan untuk membelamu di sisi Allah’.

Abu Jahal dan Ibnu Abi Umayah berkata ‘ Hai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama Abdul Muthalaib?’
Kedua orang ini mengatakan itu secara terus-menerus sehingga ucapan Abu Thalib yang terakhir dilontarkannya ialah ‘Dalam agama Abdul Muthalib’.

Nabi saw. bersabda , ‘sungguh, aku akan memintakan ampun untukmu selama tidak dilarang.’

Maka turunlah firman Allah Ta’ala, “tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman untuk memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kerabatnya sendiri, sudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang musyrik itu merupakan penghuni neraka Jahannam” (Qs At-taubah 113).[6]

Berkaitan dengan riwayat Abu Thalib ini perlu dikaji secara kritis. Jika dilihat secara historis, ayat ini turun di Madinah. Sedangkan Abu Thalib wafat sebelum Nabi melakukan hijrah ke Madinah. Dari tinjauan sejarah, ayat tersebut tidak pas dan besar kemungkinan bukan Abu Thalib. Mungkin ada seorang Muslim di Madinah yang orangtuanya wafat dan belum Islam. Kemudian meminta Nabi untuk mendoakannya. Tentang ini perlu dikaji kembali karena hampir semua informasi berkaitan dengan tokoh dibalik ayat diasarkan pada sejumlah riwayat. Dalam hal ini perlu kajian tentang riwayat-riwayat.

Al-Hakam bin Hisyam alias Abu Jahal
Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, Atau dia menyuruh bertakwa (kepada Allah)?. Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling?. Tidaklah dia mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?. Ketahuilah, sungguh jika dia tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya kami tarik ubun-ubunnya (yaitu) ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka Biarlah dia memanggil golongannya (untuk menolongnya), Kelak kami akan memanggil malaikat Zabaniyah (Qs. Al-A’laq: 11-18).

Sebagaian ulama, diantaranya Imam al-Qurthubi, al-Khazin dan al-Baghawi, Imam Ibnu Katsir, As-syaukani menegaskan bahwa surat al-‘alaq ayat 11-18 diturunkan berkenaan dengan Abu Jahal alias Amr bin Hisyam.

Dia adalah penindas kaum mustad’afin, musuh kaum mukmini di Mekah, dan Fir’aunnya umat ini.[7] Menurut Rasulullah saw., Abu Jahal adalah orang yang melukai tubuh Bilal dengan batu dan cambuk, yang melarang Rasulullah saw sholat di dalam Ka’bah, salah seorang yang mengolok-ngolok dakwah Islam dan pemeluknya, dan salah seorang yang berkonspirasi di Darun Nadwah untuk membunuh Nabi saw.

‘Amir Ibnuth-Thufail
Sama saja (bagi Tuhan), siapa diantaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang berterus-terang dengan Ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari. Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Dia-lah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan ketakutan dan harapan, dan dia mengadakan awan mendung. Dan guruh itu bertasbih dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat Karena takut kepada-Nya, dan Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang dia kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan yang Maha keras siksa-Nya. (Qs. a-Rad, 10-13)

Dia adalah serigala yang tumbuh dipadang sahara sebagaimana serigala lainnya. Dia adalah manusia buas yang haus darah. Dia adalah laki-laki yang berhati keras dan kasar, tidak mengenal rasa belas kasihan dan tidak tahu apakah kasih sayang atau kehangatan itu.
Shahih, Ibnu Juraji dan Ibnu Zaid meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, ‘Surat ar-Rad ayat 10-13 dan yang sebelumnya, diturunkan berkenaan dengan Amir Ibnuth-Thufail dan Arbad bin Rabi’ah.’

Keduanya bermaksud menemui Rasulullah saw. Salah seorang sahabat Nabi berkata, ‘Rasulullah , Amir Ibnuth-thufail hendak menemuimu’. Nabi besabda, ‘biarkanlah,. Jika Allah hendak memberinya kebaikan niscaya Dia menunjukkannya.’

Amir pun menghadap hingga berdiri di hadapan Rasulullah saw. Dia berkata, ‘Muhammad, apa yang aku perolah jika aku masuk Islam?’. Nabi bersabda, ‘ Kamu memperoleh hak dan kewajiban seperti yang dimiliki oleh orang muslim lainnya,’

Amir berkata , ‘ Berikanlah kekuasaan kepadaku setelah kamu meninggal’. ‘Tidak. Hal itu bukanlah kekuasaanku. Hal itu semata-mata kekuasaan Allah ta’ala. Dia memberikannya kepada orang yang dikehendaki-Nya’. ‘kalau begitu berilah aku kekuasaan atas penduduk kampung, sedang engkau berkuasa atas penduduk kota.’ ‘Tidak’.
‘lalu dimanakah kamu akan menempatkan aku?’ ‘Aku akan menempatkanmu diatas punggung kuda yang kamu gunakan untuk berperang’
‘bukankah hal itu yang aku miliki sekarang?’

Sebenarnya sebelum percakapan itu terjadi, Amir telah berpesan kepada Arbad bin Rabi’ah bahwa jika dia melihat dirinya berdialog dengan Nabi, hendaklah dia memutar ke belakang lalu menebas Nabi dengan pedang. Karena itu, Amir terus mendebat dan memojokan Nabi, Arbad berputar ke belakang Nabi saw. Amir memberikan isyarat. Nabi melirik, sehingga beliau dapat melihat Arbad dan apa yang akan dilakukannya.

Beliau bersabda, ‘Ya Allah, lindungilah aku dari kedua orang ini dengan cara yang Engkau kehendaki’.

Allah mengirimkan petir kepada Arbad, padahal waktu itu musim kemarau. Dia berteriak. Petir itupun menghanguskannya. Adapun Amir melarikan diri dan berkata, ‘Hai Muhammad, kamu berdo’a kepada Tuhanmu maka terbunuhlah Arbad. Demi Allah, aku akan memenuhi Madinah dengan kuda pacu dan para pemuda yang gagah.’

Rasulullah bersabda, ‘ Allah dan kaum Aus serta Khazraj akan menghalangimu’. Amir singgah di rumah seorang wanita dari Bani Salul. Ketika pagi tiba, dia mengambil senjatanya, dan berkata ‘ Demi Latta dan Uzza, jika Muhammad dan temannya menempuh padang pasir untuk mengejarku, niscaya aku akan membidik keduanya dengan tombakku’.
Allah melihat hal itu, maka Dia mengutus malaikat yang kemudian menampar Amir dengan sayapnya sehingga Amir tersungkur ke tanah. Pada keesokan harinya, luka dikedua lututnya membengkak hingga sebesar punuk unta.

Amir mati di atas punggung kudanya. Sehubungan dengan peristiwa diatas, Allah menurunkan surat a-Rad dari ayat 10-14.

An-Nadhar ibnul-Harits
Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami, mereka berkata: "Sesungguhnya kami Telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau kami menhendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, (Al Quran) Ini tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang purbakala". Dan (ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika betul (Al Quran) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih". Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun. (Qs. al-Anfal, 31-33)

Dia termasuk salah seorang yang menentang dakwah Islam pada permulaan kemunculannya dan yang menghalang-halangi para pengikutnya. Allah pun mengunci mati hatinya sehingga dia tidak dapat melihat cahaya baru yang menyinari dunia sekitarnya. An-Nadhar merupakan salah seorang kaum kaya Mekkah yang berkedudukan. Dia memanfaatkan kekayaan dan kedudukannya untuk menindas para pengikut Muhammad saw. dan berupaya untuk mengujinya supaya mereka keluar dari agamanya.

Menurut Ibnu Katsir, melalui surat al-Anfal ayat 31-33 ini, Allah Ta’ala memberitahukan kekafiran kaum Quraisy, kecongkakan mereka, kedurhakaannya, keingkarannya, dan pengakuannya yang bathil. Tatkala ayat-ayat ini dibacakan, mereka berkata, ‘Kami pernah mendengar hal yang semacam ini. Jika kami mau, niscaya kami sanggup mengungkapkan hal yang sama.’

Dikisahkan bahwa An-Nadhar pergi ke Persia, lalu belajar kepada beberapa juru dongeng kerajaan, diantaranya Rustam dan Isfandiyar. Ketika tiba di Makkah, dia melihat Rasulullah telah diutus Allah. Dia membacakan al-Qur’an kepada manusia. Jika Rasulullah berdakwah disuatu Majlis tempat an-Nadhar Ibnul Harits berada dan menceritakan berita tentang orang terdahulu, maka an-Nadhar berkata, ‘Demi Allah, siapakah juru kisah yang paling bagus, aku atau Muhammad?’

Karena itu, tatkala Allah Ta’ala memberikan kekuatan kepada Nabi Saw dalam perang Badardan an-Nadhar tertangkap sebagai tawanan, secara tenang beliau menyuruh untuk memenggal lehernya dihadapannya. Hal itu pun dilakukan. Kepunyaan Allahlah segala puji.

Menurut Ibnu Jarir, orang yang berhasil menawan an-Nadhar adalah al-Miqdad ibnul-Aswad r.a. Ibnu Jarir berkata bahwa pada perang Badar, Nabi saw menginstruksikan untuk membunuh Uqbah bin Abni Mu’ith, Sha’imah bin Adi, dan An-Nadhar ibnul-Harits dengan kesadaran. Al-Miqdad menawan An-Nadhar tatkala dia diinstruksikan agar dibunuh.

Ibnu Katsir berkata bahwa sehubungan dengan an-Nadhar inilah, diturunkan firman Allah berikut ini.[8] Lihat terjemah al-anfal: 31, al-Furqon: 5, al-Anfal: 32.

Ka’ab ibnul-Asyraf. (an-Nisaa’ : 51-52)
Para ulama bersepakat bahwa surat an-Nisaa ayat 51-52 diturunkan berkenaan dengan Ka’ab ibnul-Asyraf dan Hayay bin Akhtab[9]

Buku-buku biografi mengemukakan bahwa dia adalah tokoh dari Kabilah Thai’. Ibunya berasal dari kabilah Nadhir, seorang wanita yang cerdas, pintar dalam mengatur, memiliki harta banyak, dan mampu menyimpan harta yang jumlahnya tak terhitung dalam berbagai gudang, sehingga dia menjadi orang Yahudi Madinah yang paling kaya.

Sebelum Islam datang, Ka’ab menginformasikan kepada penduduk Yastrib bahwa akan lahir seorang nabi baru. Dan ketika Rasulullah datang, Ka’ab memendam kedengkian dan muslihatnya serta mengungkapkan sesuatu yang tidak hendak dikatakannya. Dia terus melakukan hal itu hingga dia pun menyanjung Ummul-Fadhal bintil-Harits[10]

Peristiwa Badar al-Kubra merupakan salah satu kejadian dakwah Islam yang besar; kejadian yang mengguncangkan Jazirah Arab dan membuat dakwah Islam melakukan aneka kalkulasi dengan kaum Quraisy berikut berhala-berhalanya. Ka’ab menunggu datangnya berita tentang Muhammad dan para sahabatnya dalam perang tersebut.

Sebagian mufassir meriwayatkan bahwa setelah Perang Badar, Ka’ab berangkat bersama 70 orang Yahudi menuju Mekkah untuk bersekutu dengan kaum Quraisy dalam menghadapi Rasulullah saw. Merekapun membatalkan perjanjian yang ada antara mereka dan Rasulullah saw.

Ka’ab bertamu ke rumah Abu Sufyan, sedangkan yang lain tinggal di rumah-rumah kaum Quraisy lainnya.

Penduduk Mekkah berkata, ‘Kalian merupakan ahli kitab dan Muhammad juga memiliki kitab. Karenanya, kami tidak merasa aman dari tipu daya kalian melalui persekutuan ini. Jika kamu mengharapkan kami menyerang bersamamu, sembahlah kedua berhala ini dan berimanlah kepada keduanya.’. inilah yang dimaksud firman Allah, “....mereka percaya kepada Jibt dan Thagut..... (an-Nisa’ : 51).

Ka’ab berkata kepada penduduk Mekkah, ‘ datangkanlah 30 orang sebagai wakilmu dan 30 orang lagi wakil dari kami, lalu kita tambatkan hati kita di Ka’bah dan berjanji kepada Tuhan Rumah ini bahwa kita akan bersungguh-sungguh dalam memerangi Muhammad’.
Mereka memenuhi sarannya. Setelah selesai mengungkapkan tekadnya, Abu Sufyan berkata kepada Ka’ab, ‘ Kamu adalah orang yang suka membaca Kitab dan terpelajar, sedangkan kami tidak bisa membaca dan tidak berpengetahuan. Jadi, jalan manakah yang paling benar dan paling dekat untuk menuju kebenaran yang terang? Apakah jalan kita ataukan jalan Muhammad?’

Ka’ab berkata , ‘Terangkanlah kepadaku tentang agamamu’. Abu Sufyan berkata, ‘Kami suka menyembelih ternak untuk menjamu para jamaah haji, memberi mereka air minum, menghormati tamu, melepaskan orang dari kesulitan, menghubungkan tali silaturahmi, memakmurkan rumah Tuhan kami, berthawaf di rumah itu, dan kami semua merupakan penduduk Tanah Haram. Sementara itu, Muhammad meninggalkan agama nenek moyang kami, memutuskan tali silaturahmi, dan meninggalkan Tanah Haram. Agama kami sudah lama, sedangkan agama Muhammad itu baru’.

Ka’ab berkata, ‘Demi Allah, jalanmu lebih baik daripada jalan yang ditempuh Muhammad.’[11] Oleh karena itu, Allah menurunkan Annisa ayat 51-52.

Tsa’labah bin Hathib. (at-Taubah : 75-77)
Sejarah bungkam terhadap riwayat hidup Tsa’labah, baik sekilas maupun panjang lebar. Padahal Tsa’labah merupakan salah seorang yang dituturkan Allah dalam al-Qur’an. Namun ada sebagian kisah yang dalam makalah ini akan sedikit saya ceritakan.[12] Tsa’labah adalah seorang yang miskin tapi sangat taat beribadah. Namun, ketika dirinya kaya raya, dia meninggalkan segala kegiatan ibadahnya demi mengurus harta-hartanya yang sangat melimpah. 

Karena kekayaan hartanya, maka suatu waktu Rasulullah mengutus dua orang dari Bani Juhainah dan Salim, untuk mengumpulkan zakat dari kaum muslimin.  Keduanya berangkat hingga tiba ditempat Tsa’labah. Keduanya memungut zakat dan menyampaikan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah saw.

Tsa’labah berkata, ‘ini tiada lain kecuali Jizyah. Ini tiada lain kecuali Jizyah. Aku tidak mengenal ini. Pergilah ke tempat lain hingga selesai. Nanti datang lagi ketempatku ini’.
Kejadian ini terjadi sampai tiga kali. Lalu Allah menurunkan firman-Nya dalam At-taubah : 75. Rasulullah, Abu Bakar, Umar bin Khatab dan Utsman bin Affan tidak menerima lagi sedekah Tsa’labah.

Umayyah bin Khalaf (al-Humazah : 1-9)
Ulama tafsir dan tokoh biografi berpendapat bahwa surat diatas diturunkan berkenaan dengan Umayyah bin Khalaf. Demikianlah dikemukakan oleh Imam al-Qurtubi II:183, al-Fakhrur Razi, Muhammad bin Ishak, Ibnu Katsir dan Mujahid.

Uqbah bin Abi Mu’ith (al-Furqan : 27-29)
Sebagian tokoh tafsir menegaskan bahwa ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Uqbah bin Abi Mu’ith[13].
Atha’ al-Khurasani meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a berkata: ‘Ubay bin Khalaf menemui Rasulullah, duduk disisinya, dan menyimak sabdanya tanpa mengimaninya. Uqbah bin Mu’ith melarangnya berbuat demikian. Maka diturunkanlah al-Furqan ayat 27-29. Menurut para ulama, Ubay bin Khalaf dan Uqbah bin Abi Mu’ith berteman akrab. Tidaklah Uqbah datang dari bepergian jauh melainkan dia membuat makanan lalu mengundang para pemuka kaumnya. Dia juga banyak begaul dengan Nabi saw.

Pada suatu kali dia datang dari bepergian, lalu membuat makan, dan mengundang orang lain termasuk Rasulullah saw. Tatkala makanan dihidangkan, Rasulullah saw. bersabda ‘aku tidak akan menyantap makananmu, sebelum kamu bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan bahwasanya aku adalah Rasul Allah’. Maka Uqbah berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul Allah ‘. Rasulullah pun menyantap makanannya. Saat itu Ubay bin Khalaf datang. Tatkala mendengar kejadian tersebut, dia berkata, ‘Hai Uqbahj, kamu telah memeluk Islam?’

Uqbah menjawab, ‘ Demi Allah, aku tidak memeluknya. Hanya saja seorang laki-laki yang kuundang tidak mau menyantap makanan yang aku suguhkan sebelum aku memeberikan kesaksian untuknya. Aku malu jika dia pulang tanpa menyantap makananku. Karena itu, aku bersaksi keapdanya sehingga dia pun makan’. Ubay nerkata, ‘Aku tidak akan pernah rela kepadamu sebelum kamu menemuinya, meludahi mukanya dan menginjak kuduknya.’
Uqbah melaksanakan permintaannya. Dia mengambil kotoran binatang, lalu menumpahkannya ke pundak Rasulullah saw. Rasululllah pun bersabda, ‘ Aku takkan menemuimu keluar dari Mekkah melainkan pedangku melayang di kepalamu. Uqbah akhirnya mati pada Perang Badar dengan pasrah.’[14] Ada pun Ubay dibunuh oleh Rasulullah pada perang Uhud melalui suatu pergumulan. Berkaitan denfan kedua orang itu, Allah menurunkan Al-furqan ayat 27. ***

DUDIN SAMSUDIN, mahasiswa S2 Prodi SKI Pascasarjana UIN SGD Bandung




[1] Pendapat itu dikemukakan oleh Tirmidzi (XII:201), penulis ad-Daurul-Mantsuur (VI:222), al-Qurthubi (18:121), Ibnu Katsir (IV:371) , penulis al-Mustadrak (VII:488), at-Thabari (XXVIII:70), al-Khazin dan al-Baghawi (VII:82), Imam Ahmad (IV:2368) dan al-Wahidi (hlm. 457)
[2] Sirah Ibnu Hisyam, III : 335
[3] Fii Zhilali Qur’an, XXVIII: 110
[4] Al-Jaami li’ahkamil Qur’ani, XX:236
[5] Al-Jaami’ li Ahkaamil-Qur’ani, XIX: 232
[6] HR. Bukhari dan Muslim
[7] Al-bidayah wan-Nihayah, III: 287
[8] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ahmad dan Muhammad ibnun-Nadhar.keduanya meriwayatkan dari Abdullah bin Mu’adz, dari ayahnya, dari Syu’bah.
[9] Ad-Durul Mantsur, II:71; tafsir ath-Thabari, VIII : 468
[10] Taarikh ath-Thabari, II : 488
[11] Asbabu Nuzulil-Qur’ani, hlm. 149
[12] Cerita ini berasal dari muffasir, yang diantaranya Ibnu Abbas dan Hasna Bashri.
[13] Demikianlah menurut ath-Thabari XIX: 6, al-Baghawi V: 82, dan Imam al-Wahidi hlm. 347.
[14] Tafsir ath-Thabari, XIX : 6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar