Ilaahi
anta maqsuudi waridlooka mathluubi a’thini mahabbataka wama’rifataka
Al-Qur’an
merupakan kitab suci yang didalamnya terdapat macam-macam permasalahan serta
pemecahannya. Bahkan Al-qur’an sebagai “petunjuk bagi umat manusia.. ”. Dari
6.236 ayat yang terdapat dalam Kalaamullah tersebut, sebagian berisi
tentang studi tokoh. Baik itu tokoh-tokoh pembela Islam dan juga tokoh-tokoh
yang terkenal sangat membenci agama Allah ini. Adapun, munculnya para tokoh
tersebut menurut tafsiran para ulama, baik itu tokoh yang namanya tersurat
ataupun yang tersirat.
Pada
makalah ini saya akan menguraikan sedikit dari beberapa orang tokoh, yang
namanya diabadikan dalam al-Qur’anul Kariim. Tokoh-tokoh yang saya tulis
merupakan tokoh yang hidup pada zaman Rasulullah Saw. Semoga menjadi I’tibar
bagi kita yang membacanya. Amiin.
Di antara
tokoh-tokoh yang akan dibahas pada makalah ini ialah: Abdullah bin Ubay, Abu
Lahab bin Abdul Muthalib, Abu Thalib bin Abdul Muthalib, Al-Hakam bin Hisyam
alias Abu Jahal, ‘Amir Ibnuth-Thufail An-Nadhar ibnul-Harits, Ka’ab
ibnul-Asyraf, Tsa’labah bin Hathib, Umayyah bin Khala, dan Uqbah bin Abi Mu’ith.
Abdullah
bin Ubay
“Apabila
orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa
sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta.
Mereka
itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia)
dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.” (al-Munafiqun 1-2)
Sejumlah
mufassir dan ahli hadits sepakat bahwa surat al-Munafikuun ayat 1-2 diturunkan
berkenaan dengan Abdullah bin Ubay, dedengkot kaum munafik.[1]
Ketika
Rasulullah saw. memerangi
Banil-Mushthaliq, beliau singgah di salah satu sumur milik mereka yang
dikenal dengan sumur al-Muraisi’. Orang-orang pun bergegas menuju sumur.
Saat itu, Umar bin Khatab ditemani seseorang dari Bani Ghifar yang bernama
Jahjah bin Mas’ud yang diupah untuk menuntun kuda Umar. Jahjah dan Sinan bin
Wabar , teman Ibnu Aun bin al-Kharzraj berebutan mengambil air. Keduanya baku
bunuh. Aj-Juhni berteriak, “Hai kaum Anshar!” dan Jahjah berteriak, “Hai kaum
Muhajirin”.
Abdullah
bin Ubay pun marah. Saat itu dia bersama sekelompok pengikutnya, diantaranya
Zaid bin Arqam, seorang anak muda. Dia berkata “apakah mereka telah membunuhnya?
Mereka telah mengalahkan golongan dan jumlah kami di negeri kami sendiri. Demi
Allah, apa yang kita sediakan untuk orang-orang Quraisy hanyalah sepeti kata
para orang tua, ‘Kamu memberi makan
anjingmu hingga gemuk, lalu ia menggigitmu! Demi Allah, jika kami kembali ke
Madinah, niscaya kaum yang mulia akan mengusir kaum yang hina dari sana.’”
Dia
menghampiri kaumnya yang ada disana lalu berkata “inikah yang telah mereka
lakukan terhadap dirimu, padahal kamu membolehkan mereka tinggal di negerimu
dan berbagai harta kekayaan dengan mereka. Demi Allah jika kamu menahan
milikmu, niscaya mereka beralih ke negeri lain.”[2]
Begitu
Zaid bin Arqam mendengar Abdullah bin Ubay berkata demikian, dia langsung
menemui Rasulullah saw. Kasus ini terjadi setelah beliau menyelesaikan urusan
dengan musuhnya. Zaid menyampaikan ucapan Ubay kepada Nabi saw. yang saat itu
tengah bersama Umar bin Khatab. Umar berkata, “Suruhlah Abad bin Basyar
membunuhnya”
Rasulullah
bersabda “Hai Umar, bagaimana nanti kalau orang membicarakan bahwa Muhammad
telah membunuh temannya sendiri”? “ Jangan!”
Rasulullah
memerintahkan untuk melanjutkan perjalanan. Begitu memperoleh kabar bahwa Zaid
melaporkan perkataan itu, Abdullah bin Ubay datang kepada Rasulullah dan berkata
“Aku tidak mengatakan dan mengucapkan hal itu”.
Ubay
adalah seorang terpandang dan terhormat dikalangan kaumnya, lalu para
sahabat Nabi dari kalangan Anshar yang
tengah berada di dekatnya berkata, “Hai Rasulullah , mungkin anak itu hanya
berilusi dan tidak menangkap apa yang dikatakan oleh Abdullah bin Ubay karena
terlampau sayang kepadanya dan ingin membelanya.”
Ibnu
Ishak berkata bahwa setelah Rasulullah saw. juga berangkat secara terpisah dari
rombongan. Usaid bin Khidir menemuinya. Setalah menyampaikan salam kenabian dia
berkata, “Hai Nabi Allah,, demi Allah engkau dapat beristirahat meskipun dalam
suasana yang tidak menyenangkan, padahal sebelumnya engkau tidak pernah
melakukannya”
Rasulullah
beersabda “apakah kamu tidak mendengar perkataan temanmu?”
“Teman
yang mana ya Rasul?” tanya Usaid
“Abdullah
bin Ubay”
“Apa
yang telah dikatakannya?”
“dia
mengatakan bahwa apabila telah tiba di Madinah maka orang terpandang akan
mengusir orang hina”.
Usaid
berkata “Engkaulah, Hai Rasulullah. Demi Allah, engkaulah yang akan mengusirnya
jika engkau mau. Dialah yang hina dan engkaulah yang mulia”. Usaid melanjutkan
“Hai Rasulullah, kasihanilah dia. Demi Allah dia telah mengirimmu. Semula kaum
Ubay telah merangkai batu sapir supaya dikenakannya sebagai mahkota. Jadi dia
berpandangan bahwa engkau telah merampas kerajaannya.”[3]
Kemudian
diturunkanlah surat yang menceritakan Ubay dan kaum munafik serta orang-orang
yang seperti mereka. Setalah ayat ini turun, Rasulullah saw memegang telinga
Zaid bin Arqam seraya bersabda “orang inilah yang Allah telah menyempurnakan
penjelasan melalui telinganya”. (HR. Tirmidzi)
Abu
Lahab bin Abdul Muthalib
“Binasalah
kedua tangan Abu Lahab dan benar-benar binasa dia! Tidaklah berguna baginya
hartanya dan apa yang dia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang
bergejolak (neraka). Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar (penyebar
fitnah). Di lehernya ada tali dari sabut yang dipintal” (Qs. Al-Lahab: 1-5).
Nama
lengkapnya ialah Abdul Uzza bin Abdul Muthalib. Dia sering juga dipanggil Abu
Utbah. Dan dia dinamai Abu Lahab, karena wajahnya bercahaya. Keluarganya suka
meamanggil Abu Lahab, karena kilauan dan ketampanan wajahnya. Allah mencegah
niat mereka untuk memanggil Abu Nur. Allah melancarkan lidah mereka untuk
memanggilnya dengan Abu Lahab ‘bapak kilauan cahaya api’.
Kata
Lahab ini hanya digunakan untuk, menunjukan sesuatu yang buruk dan tidak
disukai, yaitu api neraka. Kemudian Allah menjadikan hal itu sebagai kenyataan dengan menjadikan
neraka sebagai tempat tinggalnya[4].
Ibnu
Abbas r.a berkata: “ketika diturunkan ayat, ‘’Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat ‘ , Rasulullah pergi lalu naik ke Bukit
Shafa. Dia berseru, ‘Hai orang-orang yang menikmati pagi!’”
Lalu
orang-orang berdatangan mengelilinya. Nabi bersabda “Hai saudaraku, Bagaimana
menurut pendapat kalian jika aku memberitahukan kepada kalian bahwa seekor kuda
muncul dari kaki bukit ini, apakah kalian akan mempercayaiku?”
Mereka
menjawab ‘kami tidak pernah didustai olehmu’. Beliau melanjutkan, ‘aku
memperingatkan kepada kalian bahwa dihadapanku ada azab yang besar.
Abu
Lahab berkata, ‘celakalah kamu ! apakah kamu mengumpulkan kami hanya untuk
ini?’
Abu
Lahab beranjak pergi. Kemudian turunlah ayat ‘Binasalah kedua tangan Abu
Lahab dan binasalah dia.’ (al-Lahab : 1).
Ketika
istrinya mendengar bahwa ada ayat al-Qur’an yang diturunkan berkenaan dengan
suaminya, dia menemui Rasulullah saw. Saat itu beliau tengah duduk di mesjid
dekat Ka’bah bersama Abu Bakar. Dia membawa batu. Setelah dekat, Allah merampas
penglihatannya sehingga tidak dapat melihat Rasulullah saw, dan hanya melihat
Abu Bakar.
Dia
berkata ,’hai Abu Bakar, aku menerima kabar bahwa temanmu telah mengejekku.
Demi Allah jika aku menjumpainya, niscaya kulempar mulutnya dengan batu ini.’
Dia
pun berlalu. Abu Bakar berkata, ‘Hai Rasulullah apakah dia tidak melihatmu?’
beliau menjawab ‘dia tidak melihatku. Allah membuat matanya tidak dapat
melihatku’.
Kaum
Quraisy suka memanggil Muhammad sebagai pencela. Mereka mencacinya. Beliau
bersabda ‘setelah Allah melindungiku dari gangguan kaum Quraisy, bukankah
mengherankan apabila mereka masih mencaci dan mengejekku dengan menyebutku
sebagai pencela, padahal namaku Muhammad.?’
Ketika
ada utusan yang datang menemui Rasulullah, Abu Lahab selalu berkata
‘sesungguhnya dia adalah pendusta dan tukang sihir’. Merekapun pulang dan tidak
menemui beliau.
Pada
kesempatan lain, datang pula sebuah utusan. Abu Lahab melakukan tindakan
seperti yang dilakukaknya kepada utusan pertama. Namun mereka berkata ‘Kami
tidak akan pulang sebelum melihat dan mendengar perkataannya’.
Abu
Lahab berkata kepada mereka, ‘sesungguhnya kami senantiasa mengobatinya .
mampus dan celakalah dia.’
Rasulullah
menerima kabar tentang ucapan Abu Lahab, dan beliau berduka. Lalu Allah menurunkan
ayat ‘Binasalah kedua tangan Abu
Lahab dan binasalah dia.’ (al-Lahab : 1).[5]
Abu
Thalib bin Abdul Muthalib
“Tiadalah
sepatutnya bagi nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu
adalah penghuni neraka jahanam. Dan permintaan
ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah Karena
suatu janji yang Telah diikrarkannya kepada bapaknya itu. Maka, tatkala jelas
bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Maka Ibrahim berlepas diri
dari padanya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat Lembut hatinya
lagi Penyantun.” (Qs. At-Taubah: 113-114)
Abu
Thalib bin Abdul Muthalib ialah paman Rasulullah saw. yang menanggung kehidupan beliau setelah Abdul
Muthalib wafat. Abu Thalib merupakan ‘tameng’ bagi Rasulullah saw. yang melindungi beliau dari kaum kafir, sehingga
tidak ada seorang pun di antara mereka yang
menyakitinya. Abu Thalib sangat begitu menyayangi Rasulullah. Namun, ternyata
sampai ajalnya tiba, Abu Thalib tidak pernah mengucapkan dua kalimat syahadat
yang merupakan gerbang memasuki agama Islam.
Diriwayatkan
dari Sa’id ibnul-Musayyab, dari ayahnya yang berkata, “tatkala menjelang
ajalnya Abu Thalib, Nabi saw menjenguknya. Disana ada Abu Jahal dan Abdullah
bin Abi Umayah.
Nabi
bersabda :’ hai paman, ucapkanlah ‘tiada tuhan melainkan Allah’ bersama-sama
aku. Ia merupakan kalimat yang akan aku gunakan untuk membelamu di sisi Allah’.
Abu
Jahal dan Ibnu Abi Umayah berkata ‘ Hai Abu Thalib, apakah kamu membenci agama
Abdul Muthalaib?’
Kedua
orang ini mengatakan itu secara terus-menerus sehingga ucapan Abu Thalib yang
terakhir dilontarkannya ialah ‘Dalam agama Abdul Muthalib’.
Nabi
saw. bersabda , ‘sungguh, aku akan memintakan ampun untukmu selama tidak
dilarang.’
Maka
turunlah firman Allah Ta’ala, “tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
beriman untuk memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik,
walaupun orang-orang musyrik itu adalah kerabatnya sendiri, sudah jelas bagi
mereka bahwa orang-orang musyrik itu merupakan penghuni neraka Jahannam”
(Qs At-taubah 113).[6]
Berkaitan dengan riwayat Abu Thalib ini perlu dikaji secara kritis. Jika
dilihat secara historis, ayat ini turun di Madinah. Sedangkan Abu Thalib wafat sebelum
Nabi melakukan hijrah ke Madinah. Dari tinjauan sejarah, ayat tersebut tidak
pas dan besar kemungkinan bukan Abu Thalib. Mungkin ada seorang Muslim di
Madinah yang orangtuanya wafat dan belum Islam. Kemudian meminta Nabi untuk
mendoakannya. Tentang ini perlu dikaji kembali karena hampir semua informasi
berkaitan dengan tokoh dibalik ayat diasarkan pada sejumlah riwayat. Dalam hal
ini perlu kajian tentang riwayat-riwayat.
Al-Hakam
bin Hisyam alias Abu Jahal
Bagaimana
pendapatmu jika orang yang melarang itu berada di atas kebenaran, Atau dia
menyuruh bertakwa (kepada Allah)?. Bagaimana pendapatmu jika orang yang
melarang itu mendustakan dan berpaling?. Tidaklah dia mengetahui bahwa
Sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?. Ketahuilah, sungguh jika dia
tidak berhenti (berbuat demikian) niscaya kami tarik ubun-ubunnya (yaitu)
ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka. Maka Biarlah dia memanggil
golongannya (untuk menolongnya), Kelak kami akan memanggil malaikat Zabaniyah (Qs. Al-A’laq: 11-18).
Sebagaian
ulama, diantaranya Imam al-Qurthubi, al-Khazin dan al-Baghawi, Imam Ibnu
Katsir, As-syaukani menegaskan bahwa surat al-‘alaq ayat 11-18 diturunkan
berkenaan dengan Abu Jahal alias Amr bin Hisyam.
Dia
adalah penindas kaum mustad’afin, musuh kaum mukmini di Mekah, dan
Fir’aunnya umat ini.[7] Menurut
Rasulullah saw., Abu Jahal adalah orang yang melukai tubuh Bilal dengan batu
dan cambuk, yang melarang Rasulullah saw sholat di dalam Ka’bah, salah seorang
yang mengolok-ngolok dakwah Islam dan pemeluknya, dan salah seorang yang
berkonspirasi di Darun Nadwah untuk membunuh Nabi saw.
‘Amir
Ibnuth-Thufail
Sama
saja (bagi Tuhan), siapa diantaramu yang merahasiakan ucapannya, dan siapa yang
berterus-terang dengan Ucapan itu, dan siapa yang bersembunyi di malam hari dan
yang berjalan (menampakkan diri) di siang hari. Bagi manusia ada
malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak
merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum,
Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka
selain Dia. Dia-lah Tuhan yang memperlihatkan kilat kepadamu untuk menimbulkan
ketakutan dan harapan, dan dia mengadakan awan mendung. Dan guruh itu bertasbih
dengan memuji Allah, (demikian pula) para malaikat Karena takut kepada-Nya, dan
Allah melepaskan halilintar, lalu menimpakannya kepada siapa yang dia
kehendaki, dan mereka berbantah-bantahan tentang Allah, dan Dia-lah Tuhan yang
Maha keras siksa-Nya. (Qs. a-Rad, 10-13)
Dia
adalah serigala yang tumbuh dipadang sahara sebagaimana serigala lainnya. Dia
adalah manusia buas yang haus darah. Dia adalah laki-laki yang berhati keras
dan kasar, tidak mengenal rasa belas kasihan dan tidak tahu apakah kasih sayang
atau kehangatan itu.
Shahih,
Ibnu Juraji dan Ibnu Zaid meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, ‘Surat ar-Rad
ayat 10-13 dan yang sebelumnya, diturunkan berkenaan dengan Amir Ibnuth-Thufail
dan Arbad bin Rabi’ah.’
Keduanya
bermaksud menemui Rasulullah saw. Salah seorang sahabat Nabi berkata,
‘Rasulullah , Amir Ibnuth-thufail hendak menemuimu’. Nabi besabda,
‘biarkanlah,. Jika Allah hendak memberinya kebaikan niscaya Dia
menunjukkannya.’
Amir
pun menghadap hingga berdiri di hadapan Rasulullah saw. Dia berkata,
‘Muhammad, apa yang aku perolah jika aku masuk Islam?’. Nabi bersabda, ‘ Kamu
memperoleh hak dan kewajiban seperti yang dimiliki oleh orang muslim lainnya,’
Amir
berkata , ‘ Berikanlah kekuasaan kepadaku setelah kamu meninggal’.
‘Tidak.
Hal itu bukanlah kekuasaanku. Hal itu semata-mata kekuasaan Allah ta’ala. Dia
memberikannya kepada orang yang dikehendaki-Nya’. ‘kalau begitu
berilah aku kekuasaan atas penduduk kampung, sedang engkau berkuasa atas
penduduk kota.’ ‘Tidak’.
‘lalu
dimanakah kamu akan menempatkan aku?’ ‘Aku akan
menempatkanmu diatas punggung kuda yang kamu gunakan untuk berperang’
‘bukankah
hal itu yang aku miliki sekarang?’
Sebenarnya
sebelum percakapan itu terjadi, Amir telah berpesan kepada Arbad bin Rabi’ah
bahwa jika dia melihat dirinya berdialog dengan Nabi, hendaklah dia memutar ke
belakang lalu menebas Nabi dengan pedang. Karena itu, Amir terus mendebat dan
memojokan Nabi, Arbad berputar ke belakang Nabi saw. Amir memberikan isyarat.
Nabi melirik, sehingga beliau dapat melihat Arbad dan apa yang akan
dilakukannya.
Beliau
bersabda, ‘Ya Allah, lindungilah aku dari kedua orang ini dengan cara yang
Engkau kehendaki’.
Allah
mengirimkan petir kepada Arbad, padahal waktu itu musim kemarau. Dia berteriak.
Petir itupun menghanguskannya. Adapun Amir melarikan diri dan berkata, ‘Hai
Muhammad, kamu berdo’a kepada Tuhanmu maka terbunuhlah Arbad. Demi Allah, aku
akan memenuhi Madinah dengan kuda pacu dan para pemuda yang gagah.’
Rasulullah
bersabda, ‘ Allah dan kaum Aus serta Khazraj akan menghalangimu’.
Amir
singgah di rumah seorang wanita dari Bani Salul. Ketika pagi tiba, dia mengambil
senjatanya, dan berkata ‘ Demi Latta dan Uzza, jika Muhammad dan temannya
menempuh padang pasir untuk mengejarku, niscaya aku akan membidik keduanya
dengan tombakku’.
Allah
melihat hal itu, maka Dia mengutus malaikat yang kemudian menampar Amir dengan
sayapnya sehingga Amir tersungkur ke tanah. Pada keesokan harinya, luka dikedua
lututnya membengkak hingga sebesar punuk unta.
Amir
mati di atas punggung kudanya. Sehubungan dengan peristiwa diatas, Allah
menurunkan surat a-Rad dari ayat 10-14.
An-Nadhar
ibnul-Harits
Dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami, mereka berkata:
"Sesungguhnya kami Telah mendengar (ayat-ayat yang seperti ini), kalau
kami menhendaki niscaya kami dapat membacakan yang seperti ini, (Al Quran) Ini
tidak lain hanyalah dongeng-dongengan orang-orang purbakala". Dan
(ingatlah), ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata: "Ya Allah, jika
betul (Al Quran) ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, Maka hujanilah kami
dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih".
Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara
mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta
ampun. (Qs. al-Anfal, 31-33)
Dia
termasuk salah seorang yang menentang dakwah Islam pada permulaan kemunculannya
dan yang menghalang-halangi para pengikutnya. Allah pun mengunci mati hatinya
sehingga dia tidak dapat melihat cahaya baru yang menyinari dunia sekitarnya. An-Nadhar
merupakan salah seorang kaum kaya Mekkah yang berkedudukan. Dia memanfaatkan
kekayaan dan kedudukannya untuk menindas para pengikut Muhammad saw. dan
berupaya untuk mengujinya supaya mereka keluar dari agamanya.
Menurut
Ibnu Katsir, melalui surat al-Anfal ayat 31-33 ini, Allah Ta’ala memberitahukan
kekafiran kaum Quraisy, kecongkakan mereka, kedurhakaannya, keingkarannya, dan
pengakuannya yang bathil. Tatkala ayat-ayat ini dibacakan, mereka berkata,
‘Kami pernah mendengar hal yang semacam ini. Jika kami mau, niscaya kami
sanggup mengungkapkan hal yang sama.’
Dikisahkan
bahwa An-Nadhar pergi ke Persia, lalu belajar kepada beberapa juru dongeng
kerajaan, diantaranya Rustam dan Isfandiyar. Ketika tiba di Makkah, dia melihat
Rasulullah telah diutus Allah. Dia membacakan al-Qur’an kepada manusia. Jika
Rasulullah berdakwah disuatu Majlis tempat an-Nadhar Ibnul Harits berada dan
menceritakan berita tentang orang terdahulu, maka an-Nadhar berkata, ‘Demi
Allah, siapakah juru kisah yang paling bagus, aku atau Muhammad?’
Karena
itu, tatkala Allah Ta’ala memberikan kekuatan kepada Nabi Saw dalam perang
Badardan an-Nadhar tertangkap sebagai tawanan, secara tenang beliau menyuruh
untuk memenggal lehernya dihadapannya. Hal itu pun dilakukan. Kepunyaan
Allahlah segala puji.
Menurut
Ibnu Jarir, orang yang berhasil menawan an-Nadhar adalah al-Miqdad ibnul-Aswad
r.a. Ibnu Jarir berkata bahwa pada perang Badar, Nabi
saw menginstruksikan untuk membunuh Uqbah bin Abni Mu’ith, Sha’imah bin Adi,
dan An-Nadhar ibnul-Harits dengan kesadaran. Al-Miqdad menawan An-Nadhar
tatkala dia diinstruksikan agar dibunuh.
Ibnu
Katsir berkata bahwa sehubungan dengan an-Nadhar inilah, diturunkan firman
Allah berikut ini.[8] Lihat terjemah al-anfal: 31, al-Furqon: 5, al-Anfal: 32.
Ka’ab
ibnul-Asyraf. (an-Nisaa’ : 51-52)
Para
ulama bersepakat bahwa surat an-Nisaa ayat 51-52 diturunkan berkenaan dengan
Ka’ab ibnul-Asyraf dan Hayay bin Akhtab[9]
Buku-buku
biografi mengemukakan bahwa dia adalah tokoh dari Kabilah Thai’. Ibunya berasal
dari kabilah Nadhir, seorang wanita yang cerdas, pintar dalam mengatur,
memiliki harta banyak, dan mampu menyimpan harta yang jumlahnya tak terhitung
dalam berbagai gudang, sehingga dia menjadi orang Yahudi Madinah yang paling
kaya.
Sebelum
Islam datang, Ka’ab menginformasikan kepada penduduk Yastrib bahwa akan lahir
seorang nabi baru. Dan ketika Rasulullah datang, Ka’ab memendam kedengkian dan
muslihatnya serta mengungkapkan sesuatu yang tidak hendak dikatakannya. Dia
terus melakukan hal itu hingga dia pun menyanjung Ummul-Fadhal bintil-Harits[10]
Peristiwa
Badar al-Kubra merupakan salah satu kejadian dakwah Islam yang besar; kejadian
yang mengguncangkan Jazirah Arab dan membuat dakwah Islam melakukan aneka
kalkulasi dengan kaum Quraisy berikut berhala-berhalanya. Ka’ab menunggu
datangnya berita tentang Muhammad dan para sahabatnya dalam perang tersebut.
Sebagian
mufassir meriwayatkan bahwa setelah Perang Badar, Ka’ab berangkat bersama 70
orang Yahudi menuju Mekkah untuk bersekutu dengan kaum Quraisy dalam menghadapi
Rasulullah saw. Merekapun membatalkan perjanjian yang ada antara mereka dan
Rasulullah saw.
Ka’ab
bertamu ke rumah Abu Sufyan, sedangkan yang lain tinggal di rumah-rumah kaum
Quraisy lainnya.
Penduduk
Mekkah berkata, ‘Kalian merupakan ahli kitab dan Muhammad juga memiliki kitab.
Karenanya, kami tidak merasa aman dari tipu daya kalian melalui persekutuan
ini. Jika kamu mengharapkan kami menyerang bersamamu, sembahlah kedua berhala
ini dan berimanlah kepada keduanya.’. inilah yang dimaksud firman Allah, “....mereka
percaya kepada Jibt dan Thagut..... (an-Nisa’ : 51).
Ka’ab
berkata kepada penduduk Mekkah, ‘ datangkanlah 30 orang sebagai wakilmu dan 30
orang lagi wakil dari kami, lalu kita tambatkan hati kita di Ka’bah dan
berjanji kepada Tuhan Rumah ini bahwa kita akan bersungguh-sungguh dalam
memerangi Muhammad’.
Mereka
memenuhi sarannya. Setelah selesai mengungkapkan tekadnya, Abu Sufyan berkata
kepada Ka’ab, ‘ Kamu adalah orang yang suka membaca Kitab dan terpelajar,
sedangkan kami tidak bisa membaca dan tidak berpengetahuan. Jadi, jalan manakah
yang paling benar dan paling dekat untuk menuju kebenaran yang terang? Apakah
jalan kita ataukan jalan Muhammad?’
Ka’ab
berkata , ‘Terangkanlah kepadaku tentang agamamu’. Abu Sufyan
berkata, ‘Kami suka menyembelih ternak untuk menjamu para jamaah haji, memberi
mereka air minum, menghormati tamu, melepaskan orang dari kesulitan,
menghubungkan tali silaturahmi, memakmurkan rumah Tuhan kami, berthawaf di
rumah itu, dan kami semua merupakan penduduk Tanah Haram. Sementara itu,
Muhammad meninggalkan agama nenek moyang kami, memutuskan tali silaturahmi, dan
meninggalkan Tanah Haram. Agama kami sudah lama, sedangkan agama Muhammad itu
baru’.
Ka’ab
berkata, ‘Demi Allah, jalanmu lebih baik daripada jalan yang ditempuh
Muhammad.’[11] Oleh
karena itu, Allah menurunkan Annisa ayat 51-52.
Tsa’labah
bin Hathib. (at-Taubah : 75-77)
Sejarah
bungkam terhadap riwayat hidup Tsa’labah, baik sekilas maupun panjang
lebar. Padahal Tsa’labah merupakan salah seorang yang dituturkan Allah dalam
al-Qur’an. Namun ada sebagian kisah yang dalam makalah ini
akan sedikit saya ceritakan.[12] Tsa’labah adalah
seorang yang miskin tapi sangat taat beribadah. Namun, ketika dirinya kaya
raya, dia meninggalkan segala kegiatan ibadahnya demi mengurus harta-hartanya
yang sangat melimpah.
Karena
kekayaan hartanya, maka suatu waktu Rasulullah mengutus dua orang dari Bani
Juhainah dan Salim, untuk mengumpulkan zakat dari kaum muslimin. Keduanya berangkat hingga
tiba ditempat Tsa’labah. Keduanya memungut zakat dan menyampaikan apa yang
diperintahkan oleh Rasulullah saw.
Tsa’labah
berkata, ‘ini tiada lain kecuali Jizyah. Ini tiada lain kecuali Jizyah. Aku
tidak mengenal ini. Pergilah ke tempat lain hingga selesai. Nanti datang lagi
ketempatku ini’.
Kejadian
ini terjadi sampai tiga kali. Lalu Allah menurunkan
firman-Nya dalam At-taubah : 75. Rasulullah, Abu Bakar, Umar bin Khatab dan Utsman
bin Affan tidak menerima lagi sedekah Tsa’labah.
Umayyah
bin Khalaf (al-Humazah : 1-9)
Ulama
tafsir dan tokoh biografi berpendapat bahwa surat diatas diturunkan berkenaan
dengan Umayyah bin Khalaf. Demikianlah dikemukakan oleh Imam al-Qurtubi II:183,
al-Fakhrur Razi, Muhammad bin Ishak, Ibnu Katsir dan Mujahid.
Uqbah
bin Abi Mu’ith (al-Furqan : 27-29)
Sebagian
tokoh tafsir menegaskan bahwa ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Uqbah
bin Abi Mu’ith[13].
Atha’
al-Khurasani meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas r.a berkata: ‘Ubay bin Khalaf
menemui Rasulullah, duduk disisinya, dan menyimak sabdanya tanpa mengimaninya.
Uqbah bin Mu’ith melarangnya berbuat demikian. Maka diturunkanlah al-Furqan
ayat 27-29. Menurut para ulama, Ubay bin Khalaf dan Uqbah bin
Abi Mu’ith berteman akrab. Tidaklah Uqbah datang dari bepergian jauh melainkan
dia membuat makanan lalu mengundang para pemuka kaumnya. Dia juga banyak begaul
dengan Nabi saw.
Pada
suatu kali dia datang dari bepergian, lalu membuat makan, dan mengundang orang
lain termasuk Rasulullah saw. Tatkala makanan dihidangkan, Rasulullah saw.
bersabda ‘aku tidak akan menyantap makananmu, sebelum kamu bersaksi bahwa
tiada tuhan melainkan Allah dan bahwasanya aku adalah Rasul Allah’. Maka
Uqbah berkata, ‘Aku bersaksi bahwa tiada tuhan melainkan Allah dan
bahwasanya Muhammad adalah Rasul Allah ‘. Rasulullah pun
menyantap makanannya. Saat itu Ubay bin Khalaf datang.
Tatkala mendengar kejadian tersebut, dia berkata, ‘Hai Uqbahj, kamu telah memeluk
Islam?’
Uqbah
menjawab, ‘ Demi Allah, aku tidak memeluknya. Hanya saja seorang laki-laki yang
kuundang tidak mau menyantap makanan yang aku suguhkan sebelum aku memeberikan
kesaksian untuknya. Aku malu jika dia pulang tanpa menyantap makananku. Karena
itu, aku bersaksi keapdanya sehingga dia pun makan’. Ubay nerkata,
‘Aku tidak akan pernah rela kepadamu sebelum kamu menemuinya, meludahi mukanya
dan menginjak kuduknya.’
Uqbah
melaksanakan permintaannya. Dia mengambil kotoran binatang, lalu menumpahkannya
ke pundak Rasulullah saw. Rasululllah pun bersabda,
‘ Aku takkan menemuimu keluar dari Mekkah melainkan pedangku melayang di
kepalamu. Uqbah akhirnya mati pada Perang Badar dengan pasrah.’[14] Ada pun
Ubay dibunuh oleh Rasulullah pada perang Uhud melalui suatu pergumulan.
Berkaitan denfan kedua orang itu, Allah menurunkan Al-furqan ayat 27.
***
DUDIN SAMSUDIN, mahasiswa S2 Prodi SKI Pascasarjana UIN SGD
Bandung
[1] Pendapat itu dikemukakan oleh Tirmidzi
(XII:201), penulis ad-Daurul-Mantsuur (VI:222), al-Qurthubi (18:121),
Ibnu Katsir (IV:371) , penulis al-Mustadrak (VII:488), at-Thabari
(XXVIII:70), al-Khazin dan al-Baghawi (VII:82), Imam Ahmad (IV:2368) dan
al-Wahidi (hlm. 457)
[8] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ahmad dan
Muhammad ibnun-Nadhar.keduanya meriwayatkan dari Abdullah bin Mu’adz, dari
ayahnya, dari Syu’bah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar