Penjelasan sejarah atau eksplanasi sejarah, menurut Helius Sjamsuddin
merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk mengembangkan,
menganalisis, dan menjelaskan hubungan diantara pernyataan-pernyataan mengenai
fenomena-fenomena yang ada.[1]
Dengan mengumpulkan beberapa data yang memiliki hubungan erat terhadap proses
sejarah yang dimaksud, sejarawan bisa menemukan banyak fakta dari proses
tersebut.
Demikian pula dengan sejarah yang ada dalam kitab suci Al-Qur’an yang
dikenal di dalamnya tidak hanya mengandung ajaran Islam saja, melainkan banyak
aspek yang bisa diambil dari kekayaan isinya. Banyak kisah yang dimuat di dalam
Al-Qur’an yang memberikan ibrah kepada umat nabi Muhammad sebagai pengikut
setia. Dengan berbagai jenis penuturan yang tercantum dalam Al-Qur’an,
kisah-kisah tersebut menjadi bervariasi dan menarik sebagai karya sastra yang
memiliki nilai tinggi.
Kisah yang dituliskan dalam Al-Quran tidak hanya terpaku pada sosok para
nabi yang menjadi pembawa wahyu. Ada beberapa tokoh yang dikisahkan di dalam
Al-Quran dan kisah tersebut bukan merupakan kisah nabi-nabi Allah. Beberapa
tokoh seperti Luqman, Maryam, Asiah bintu Muzahim, Ashab Al-Kahfi, dan
Keluarga Imran.
Perdebatan tentang penafsiran metaforis, khususnya tentang kisah-kisahh
Al-Quran. Ketika Muhammad Ahmad Khalafullah menulis disertasi berjudul al-Fann
al-Qassasi fi al-Karim, dalam karyanya ini Khalafullah menegaskan bahwa
kisah dalam Al-Qur'an tidak seluruhnya memuat kisah yang benar-benar terjadi
dalam dunia nyata. Ahmad Muhammad Khalafullah menganggap bahwa para Ulama
terdahulu berbuat salah dengan menganggap bahwa kisah Al-Qur'an sebagai sejarah
yang dapat dipegang. Khalafullah dalam bukunya mengkategorikan kisah dalam
Al-Qur'an dibagi menjadi tiga macam[2]
yaitu:
Pertama; model sejarah yaitu
suatu kisah yang menceritakan tokoh-tokoh sejarah tertentu seperti para Nabi
dan Rasul serta beberapa kisah yang diyakini orang-orang terdahulu sebagai
sebuah realitas sejarah.
Kedua; model perumpamaan,
yaitu kisah-kisah yang menurut orang-orang terdahulu, kejadiannya dimaksudkan
untuk menerangkan dan menjelaskan suatu hal atau nilai-nilai. Maka, model kisah
ini pun tidak mengharuskan kisah yang diangkat dari sebuah realitas sejarah dan
boleh berupa cerita fiktif dalam batasan orang-orang terdahulu.
Ketiga; model legenda atau
mitos yaitu, kisah-kisah yang diambil dari mitos-mitos yang dikenal dan berlaku
dalam sebuah komnitas sosial. Biasanya tujuan dari kisah mitos semacam ini
adalah untuk memperkuat satu tujuan pemikiran atau untuk menafsirkan suatu
problem pemikiran. perlu diketahui, unsur mitos dalam kisah ini bukan sebagai
tujuan kisah, tapi berfungsi sebagai salah satu instrumen kisah untuk menarik
pendengarnya.
Luqman Al-Hakim
“Dan
(Ingatlah) ketika Luqmaan berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi
pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allah!
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
(Luqmaan : 13)
Cara menyampaikan
nasihat memiliki pengaruh yang besar dalam mendidik manusia dan mengajarkan
anak yang baru berkembang. Al-Wa’dzh,[3]
sebagaimana yang dikatakan oleh para ulama, artinya adalah ilmu yang mana
manusia diarahkan untuk mendapatkannya dan dibimbing untuk mengamalkannya
disertai dengan targhiib (menyampaikan hal-hal yang menjadikannya tambah
bersemangat) dan tarhiib (menyampaikan hal-hal yang dapat membuatnya takut),
dimana seseorang mengingatkan suatu kebaikan disertai dengan hal-hal yang dapat
memberi semangat (untuk melakukannya) dan mengingatkan suatu larangan juga
disertai dengan hal-hal yang dapat memberikan rasa takut (untuk
melaksanakannya).
Jadi yang dinamakan
dengan al-wa’dzh adalah memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari
keburukan disertai dengan targhiib dan tarhiib. At-Targhiib dapat dilakukan
dengan menyebutkan faidah-faidah, hasil-hasil dan pengaruh-pengaruh baik yang
akan didapatkan oleh seorang hamba apabila dia mengamalkan perintah tersebut. Adapun
At-Tarhiib dapat dilakukan dengan menyebutkan keburukan-keburukan dan
bahaya-bahaya yang akan didapatkan oleh seseorang yang mengerjakannya.
Seperti itulah yang
dilakukan oleh Luqman Al-Hakiim, nasihat-nasihatnya berisi targhiib yang bermanfaat
untuk memotivasi orang yang didakwahi untuk mau melakukan apa yang didakwahkan dengan
sebaik-baik cara dan keadaan, dan berisi pula tarhiib yang dapat membentengi
orang yang didakwahi untuk mengerjakan dosa dan kesalahan pentingnya perbuatan
ramah dan besarnya pengaruh perbuatan ramah tersebut kepada orang yang
mengambil ilmu dan belajar dengannya.
Ketika Luqmaan memberi
pelajaran kepada anaknya, beliau mengungkapkan perkataan yang indah,
menggunakan cara yang berpengaruh dan menyampaikan kata-kata yang masuk ke
dalam hati. Lihatlah kelembutan perkataannya kepada anaknya ketika dia memberikan
pelajaran, “Ya bunayya[4]
(Wahai anak kecilku)!” Perkataan tersebut berulang-ulang disebutkan, karena
perkataan tersebut memiliki arti penting di dalam hati sang Anak. Perkataan
tersebut memiliki pengaruh pada diri anaknya dan sangat membantunya untuk
mendengarkan pelajaran tersebut dengan baik, sehingga dia dapat benar-benar
mengambil faidah dari pelajaran tersebut. Betapa besar pengaruh suatu perkataan
apabila disampaikan dengan cara yang ramah.
Ketika orang-orang yang
berdakwah menuju seruan Allah ingin mengajak kepada kebaikan, maka mulailah
dengan hal yang paling penting, kemudian yang penting, kemudian yang kepentingannya
kurang. Begitu pula pada pendidikan anak-anak dan pengkaderan generasi generasi
muda.
Hal yang pertama kali
kita lakukan adalah dengan “menanamkan” aqidah yang benar dan keimanan yang
bermanfaat, setelah itu, kita mengajarkan macam-macam ibadah, adab dan akhlak.
Oleh karena itu, ketika Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengutus Mu’aadz
bin Jabal radhiallaahu 'anhu ke Yaman, beliau berkata kepadanya: “Sesungguhnya
engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab. Jadikanlah hal pertama
yang engkau serukan kepada mereka agar mereka mentauhidkan Allah ta’ala.”[5]
Inilah yang dilakukan oleh Luqmaan Al-Hakim ketika hendak mewasiatkan
anaknya dengan beberapa wasiat yang bermanfaat. Anaknya sangat membutuhkan
wasiat-wasiat tersebut dan diajak untuk mengerjakannya. Beliau memulainya
dengan berkata:
"Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan
Allah!” karena beliau memperhatikan prioritas (dalam berdakwah).
Anak-anak sangat butuh untuk diperingatkan akan bahaya syirik dan diajak
untuk bertauhid dan ikhlas hanya untuk Allah tabaaraka wa ta’aalaa. Apabila
seorang anak diajarkan tauhid di awal pertumbuhannya, maka -dengan izin Allah-
itu akan mendatangkan manfaat yang sangat besar.
Oleh karena itu, di antara hikmah yang terkandung pada pemberian nama
anak dengan nama ‘Abdullaah dan ‘Abdurrahmaan, sebagaimana disebutkan di dalam
hadits:
“Sebaik-baik nama adalah ‘Abdullaah dan
‘Abdurrahmaan.”[6]
Maksud dari hadits tersebut adalah agar anak tersebut tumbuh di atas
tauhid, dan berkembang dalam keadaan dia mengetahui bahwa dia adalah hamba
Allah dan bukan hamba hawa nafsu, bukan pula hamba dunia, hamba setan dan hamba
untuk kepentingan-kepentingan dirinya sendiri. Tetapi, dia adalah hamba Allah tabaaraka
wa ta’aalaa. Dia berkembang berlandaskan keimanan dan aqidah. Keimanan dan
aqidah adalah pondasi yang bangunan agama, keyakinan dan kepercayaan dibangun
di atasnya. Agama tidak akan bisa berdiri dan berjalan lurus kecuali berlandaskan
tauhid dan ikhlas kepada Allah tabaaraka wa ta’aalaa.
Arti kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kezaliman
apakah yang lebih besar daripada kezaliman meletakkan peribadatan tidak pada
tempatnya? Bagaimana mungkin peribadatan diserahkan kepada makhluk yang lemah,
penuh kekurangan, tidak memiliki kemampuan untuk memberikan manfaat dan
menghilangkan bahaya dari dirinya sendiri dan tidak bisa menghidupkan dan juga
membangkitkan.
Orang yang belajar atau didakwahi sangat butuh untuk mengetahui buah
(yang bisa dipetik) dari perintah-perintah (yang dilaksanakan) dan bahaya (yang
ditimbulkan akibat mengerjakan) laranganlarangan, agar dia mampu untuk
menjalankannya. Apabila disebutkan suatu perintah, maka dia butuh untuk
disebutkan faidah dan hasil dari perintah tersebut. Apabila disebutkan suatu
larangan, maka dia butuh untuk disebutkan akibat yang buruk yang akan
didapatkan oleh orang-orang yang mengikuti jalan tersebut. Hal ini didapatkan
dari kisah Luqmaan di beberapa tempat.
Pada ayat ini terdapat wasiat untuk berbakti, berbuat baik, berlaku mulia
kepada kedua orang tua dan memperhatikan hak-hak mereka. Hal ini terdapat pada
perkataan Allah ta’aalaa:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua
orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. (Oleh karena itu)
bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kamu
kembali.” (QS Luqmaan: 14)
Wasiat untuk berbuat baik kepada kedua orang tua adalah sesuatu yang
sangat besar. Yang menjadi wasiat hanyalah hal-hal yang besar saja. Dan jika
kita lihat, wasiat di sini berasal dari Rabb semesta alam jalla wa ‘alaa. Oleh
karena itu, beberapa ahli tafsir mengatakan bahwa perkataan: “Dan Kami
perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya.” Berada
dalam konteks tambahan dari penyebutan Allah akan kisah Luqmaan tersebut. (Jadi
itu bukan perkataan Luqmaan terhadap anaknya-pent.),[7]
tetapi itu adalah wasiat dari Allah agar manusia berbuat baik kepada kedua
orang tuanya. Oleh karena itu di dalam konteks tambahan ini terdapat
faidah-faidah yang besar dan penuh dengan keberkahan yaitu wasiat kepada kedua
orang tua, mengenal hak-hak mereka, berbuat baik dan berbakti kepada keduanya
serta memenuhi segala hak keduanya.
Asiyah bintu Muzahim dan Maryam bintu ‘Imran
Asiyah bintu Muzahim, istri Fir’aun, dan Maryam bintu ‘Imran adalah dua
wanita yang kisahnya terukir indah dalam Al-Qur`an. Ayat-ayat Rabb Yang Maha
Tinggi menuturkan keshalihan keduanya dan mempersaksikan keimanan yang berakar
kokoh dalam relung kalbu keduanya. Sehingga pantas sekali kita katakan bahwa
keduanya adalah wanita yang manis dalam sebutan dan indah dalam ingatan. Asiyah
dan Maryam adalah dua dari sekian qudwah (teladan) bagi wanita-wanita
yang beriman kepada Allah dan uswah hasanah bagi para istri kaum mukminin.
“Dan Allah membuat isteri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang-orang
yang beriman, ketika dia berkata: ‘Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku di sisi-Mu
sebuah rumah dalam surga dan selamatkanlah aku dari Firaun dan perbuatannya,
dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim.” (At- Tahrim: 11).
Menurut Jawadi Amuli, do’a Asiah di atas mengajarkan satu persoalan
tauhid yang sangat penting yaitu tawalla (menjadikan Allah sebagai
pelindung) dan tabarra (melepaskan diri dari musuh-musuh Allah). Prinsip
tawalla ini, misalnya, tergambar dari permintaan Asiah agar dibangunkan
di sisi Allah sebuah rumah dalam surga. Prinsip tabarra pula terlihat
pada permintaan Asiah agar diselamatkan dari Fir’aun, dan perbuatannya, serta
agar diselamatkan dari kaum yang zalim, dan adanya permohonan Asiah agar
dirinya dilindungi dari perbuatan kaum yang zalim.[8]
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu berkata dalam kitab tafsirnya: “Allah
yang Maha Tinggi berfirman bahwasanya Dia membuat permisalan bagi orang-orang
yang membenarkan Allah dan mentauhidkan-Nya, dengan istri Fir’aun yang beriman
kepada Allah, mentauhidkan-Nya, dan membenarkan Rasulullah Musa ‘alaihissalam.
Sementara wanita ini di bawah penguasaan suami yang kafir, satu dari sekian
musuh Allah. Namun kekafiran suaminya itu tidak memudharatkannya, karena ia
tetap beriman kepada Allah. Sementara, termasuk ketetapan Allah kepada
makhluk-Nya adalah seseorang tidaklah dibebani dosa orang lain (tapi masing-masing
membawa dosanya sendiri, -pent.1), dan setiap jiwa mendapatkan apa yang ia usahakan.”
(Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir Ath-Thabari, 12/162)
Pada diri Asiyah dan Maryam, ada permisalan yang indah bagi para istri
yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hari akhir. Keduanya
dijadikan contoh untuk mendorong kaum mukminin dan mukminat agar berpegang
teguh dengan ketaatan dan kokoh di atas agama. (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an/
Tafsir Al-Qurthubi, 9/132)
Menghadapi beratnya siksaan Fir’aun, hati Asiyah tidak lari untuk
berharap kepada makhluk. Ia hanya berharap belas kasih dan pertolongan dari
Penguasa makhluk, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ia berdoa agar diselamatkan dari
siksaan yang ditimpakan Fir’aun dan kaumnya serta tidak lupa memohon agar
diselamatkan dari melakukan kekufuran sebagaimana yang diperbuat Fir’aun dan
kaumnya.[9]
Akhir dari semua derita dunia itu, berujung dengan dicabutnya ruh Asiyah
untuk menemui janji Allah Subhanahu wa Ta’ala.[10]
Istri yang shalihah akan menjaga dirinya dari perbuatan keji dan segala
hal yang mengarah ke sana. Sehingga ia tidak keluar rumah kecuali karena
darurat, dengan izin suaminya. Kalaupun keluar rumah, ia memperhatikan
adab-adab syar‘i. Dia menjaga diri dari bercampur baur apalagi khalwat
(bersepi-sepi/ berdua-duaan) dengan lakilaki yang bukan mahramnya. Ia tidak
berbicara dengan lelaki ajnabi (non mahram) kecuali karena terpaksa dengan
tidak melembutlembutkan suara. Dan ia tidak melepas pandangannya dengan melihat
apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ia ingat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Maryam yang sangat
menjaga kesucian diri, sehingga ketika dikabarkan oleh Jibril bahwa dia akan
mengandung seorang anak yang kelak menjadi rasul pilihan Allah, Maryam berkata
dengan heran: “Bagaimana aku bisa memiliki seorang anak laki-laki sedangkan aku
tidak pernah disentuh oleh seorang manusia (laki-laki) pun dan aku bukan pula
seorang wanita pezina.” (Maryam: 20)
Wanita shalihah akan mengingat bagaimana keimanan Maryam kepada Allah dan
bagaimana ketekunannya dalam beribadah, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala
memilihnya dan mengutamakannya di atas seluruh wanita. Ingatlah ketika malaikat
Jibril berkata: “Wahai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilihmu, mensucikan
dan melebihkanmu di atas segenap wanita di alam ini (yang hidup di masa itu).”
(Ali ‘Imran: 42)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Cukup bagimu
dari segenap wanita di alam ini (empat wanita, yaitu:) Maryam putri Imran,
Khadijah bintu Khuwailid, Fathimah bintu Muhammad, dan Asiyah istri Fir’aun.”[11]
Yakni cukup bagimu untuk sampai kepada martabat orang-orang yang sempurna
dengan mencontoh keempat wanita ini, menyebut kebaikan-kebaikan mereka,
kezuhudan mereka terhadap kehidupan dunia, dan tertujunya hati mereka kepada
kehidupan akhirat. Kata Ath-Thibi, cukup bagimu dengan mengetahui/ mengenal
keutamaan mereka dari mengenal seluruh wanita. (Tuhfatul Ahwadzi, kitab
Al-Manaqib)
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda memuji Asiyah dan
Maryam[12]
: “Orang yang sempurna dari kalangan laki-laki itu banyak, namun tidak ada yang
sempurna dari kalangan wanita kecuali Asiyah istri Fir’aun dan Maryam putri
Imran. Sungguh keutamaan ‘Aisyah bila dibanding para wanita selainnya seperti
kelebihan tsarid[13]
di atas seluruh makanan.”[14]
Di antara keutamaan Asiyah adalah ia memilih dibunuh daripada mendapatkan
(kenikmatan berupa) kerajaan (karena suaminya seorang raja). Dan ia memilih
siksaan di dunia daripada mendapatkan kenikmatan yang tadinya ia reguk di
istana sang suami yang dzalim. Ternyata firasatnya tentang Musa ‘Alayhissalam
benar adanya ketika ia berkata kepada Fir’aun saat mengutarakan keinginannya
untuk menjadikan Musa ‘alaihissalam sebagai anak angkatnya: (agar ia menjadi
penyejuk mata bagiku).[15]
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata:[16]
“Ayat-ayat ini (surat At-Tahrim ayat 10-12) mengandung tiga permisalan, satu
untuk orang-orang kafir dan dua permisalan lagi untuk kaum mukminin.” Setelah
beliau menyebutkan permisalan bagi orang kafir, selanjutnya beliau berkata:
“Adapun dua permisalan bagi orang-orang beriman, salah satunya adalah istri
Fir’aun. Sisi permisalannya: Hubungan seorang mukmin dengan seorang kafir tidaklah
bermudharat bagi si mukmin sedikitpun, apabila si mukmin memisahkan diri dari
orang kafir tersebut dalam kekafiran dan amalannya.
Karena maksiat yang diperbuat orang lain sama sekali tidak akan berbahaya
bagi seorang mukmin yang taat di akhiratnya kelak, walaupun mungkin ketika di
dunia ia mendapatkan kemudharatan dengan sebab hukuman yang dihalalkan bagi
penduduk bumi bila mereka menyianyiakan perintah Allah, lalu hukuman itu datang
secara umum (sehingga orang yang baik pun terkena). Istri Fir’aun tidaklah
mendapatkan mudharat karena hubungannya dengan Fir’aun, padahal Firaun itu
adalah manusia paling kafir. Sebagaimana istri Nabi Nuh dan Nabi Luth
‘alaihimassalam tidak mendapatkan kemanfaatan karena hubungan keduanya dengan
dua utusan Rabb semesta alam.
Ashab Al-Kahfi
Kisah tentang beberapa
orang pemuda yang setia kepada ajaran Nabi Isa, mereka melarikan diri dari Raja
yang zhalim di Mesir. Untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan dan pembunuhan
yang dilakuakn oleh raja tersebut, mereka pergi dari keramaian dan bersembunyi
di sebuah goa. Hal ini mereka lakukan karena mereka tidak mau tunduk pada raja
yang sesat dan menyesatkan. Goa dalam bahasa Arab disebut juga dengan kahfi,
jadi ashabul kahfi sering diterjemahkan dengan penghuni goa, atau pemuda yang
berdiam di gua.
Dalam kondisi letih dan
lapar dalam pelarian, mereka beristirahat di goa tersebut sampai akhirnya
tertidur di sana. Ketika mereka bangun dan merasakan perut mereka lapar
kembali, maka diutuslah salah seorang di antara mereka untuk membeli makanan ke
kota. Ketika salah satu pemuda tersebut sampai di kota, ia sangat heran dengan
segala perubahan yang dilihatnya, dia tidak mengenal satu orang pun dari mereka
yang ditemuinya. Bahkan ketika ia menyerahkan uang untuk membeli makanan, si
penjual tidak bisa menerima uangnya, karena ternyata uangnya tidak berlaku
lagi. Orang-orang yang ada di sana pun menjadi heran dengan penampilan si
pemuda.
Akhirnya dari informasi
masyarakat yang ditemuinya si pemuda mengerti bahwa mereka ternyata tidak tidur
hanya semalam, akan tetapi selama 309 tahun. Raja yang dahulunya zhalim sudah
tidak ada lagi. Mereka sangat bersyukur kepada Tuhan atas pertolongannya yang
telah mengistirahatkan mereka dalam waktu yang sangat panjang. Mereka bersujud
kepada Allah dan tidak beberapa berselang lamanya mereka meninggal.
Di dalam Al-Quran ada kisah
mengenai Ashabul Kahfi yang mana terdapat di sebuah tempat yang bernama Sahab
di Amman.[17]
Mereka ditidurkan selama 309 tahun selepas pemuda pemuda yang digelari Sahabat
Gua itu lari dari Maharaja Rome yang zalim dan menyombongkan diri. Pada ketika
itu kerajaan Rome membina Liga Decapolis yang berpusat di Philadelphia (kini
dikenali sebagai Amman) di mana Raja Daqyanus atau Decius memerintah pada
ketika itu. Kejadian ini berlatar belakang kesetiaan umat nabi Isa dalam
melawan kemusyrikan yang disebawa sang raja. Jadi sangat jelas tema ketuhanan
atau tauhid sangat kental dibawa kisah Ashab Al-Kahfi ini. Umat agama samawi
(agama yang turun dari langit) selalu yakin akan pertolongan Tuhan di dalam
setiap perjuangan mereka.
Terkait dengan kisah
Ashab al-kahfi dalam al-Qur’an yang tertuang dalam surat al-Kahfi, para
mufassir umumnya, baik dari kalangan mufassir bi al-ma’tsur maupun bi
al-ra’yi mempunyai pandangan yang nyaris hampir sama satu sama lain. Dari
kalangan yang pertama Ibnu Jarir al-Tabari misalnya mendeskripsikan kisah
tersebut secara tekstual sesuai bunyi ayat yang ada.[18]
Sesuai dengan urutan
ayat yang ada, at-Tabari pertama kali membuka uraian dengan persoalan tempatnya
(gua) dan kata al-Raqim. Untuk kata yang terakhir ini para mufassir
mempunyai pandangan yang berbeda, ada yang menyatakan kata itu disebut sebagai
sebuah desa, nama kertas, atau papan yang ditulis bahkan ada yang menyatakan
sebagai nama anjing yang setia mengikuti pemuda-pemuda saleh tersebut.[19]
Persoalan penting yang terdapat pada ayat 22 dan 25 menyangkut keberadaan Ashab
al-kahfi ketika berada dalam gua dimaknai secara tekstual; ia menganggap bahwa
mereka, sesuai dengan bunyi teks ayat yang ada, tertidur dalam jangka waktu
yang panjang.[20]
Fakhruddin al-Razi, dalam
menagkap makna ayat ini, juga memberi kesimpulan yang tidak jauh berbeda dengan
apa yang disimpulkan al-Tabari sebelumnya, ia menyatakan bahwa mereka tertidur
(dibuat tidur) dalam jangka waktu yang lama.[21]
Dengan cara penyampaian
yang agak berbeda, Quraish Shihab juga memberi penilaian yang secara garis
besar sama dengan apa yang disampaikan al-Tabari dalama tafsirnya. Uraian tentang
kisah Ashab al-kahfi ini dapat dijumpai pada karyanya yang berjudul “Mukjizat
al-Qur’an: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitahuan
Gaib.”[22]
Tindakan Quraish Shihab
memasukkan kisah ini dalam term “Mukjizat” bisa dimengerti, bahwa secara
sengaja mengkategorikan kisah tersebut sebagai peristiwa mukjizat, yang
notabene tidak bisa dinalar dengan penalaran biasa atau bahkan tidak bisa
dilogikakan sama sekali. Sebagaimana al-Tabari menjelaskan kisah tersebut,
demikian halnya dengan Quraish Shihab; ia pertama kali melakukan identifikasi
tempat dengan menyebut nama Apsus, nama kota tempat gua tersebut berada. Perbedaannya
adalah; al-Tabari mengetahui nama itu dari kisah-kisah israiliyyat yang
didapatnya melalui metode isnadi, sedangkan Quraish Shihab memperoleh dari
kejelasan tempat itu melalui serangkaian penelitian arkeologi yang panjang.
Alam tulisan Quraish
Shihab ini tidak mendiskusikan sama sekali keberadaan pemuda-pemuda tersebut
selama berada dalam gua, khususnya terkait al-kahfi ayat 22 dan 25. Secara
sederhana ia mengatakan bahwa pemuda-pemuda tersebut tertidur dalam gua[23]
selama 300 tahun, yakni menurut hasil penelitian yang didapatnya, antara tahun
112 M. Sampai dengan 412 M, dari uraian ini Quraish Shihab menyimpulkan bahwa
kesesuaian antara informasi yang diberikan sejarahwan melalui data-datanya
dengan informasi yang terdapat dalam al-Qur’an, dan yang demikian ini menjadi
bukti akan kebesaran (Mukjizat) Tuhan.[24]
Ali ‘Imran
Dalam surat Ali Imran disebutkan mengenai cerita ketika Istri Imran
mengandung Maryam ia bernazar. “(Ingatlah), ketika istri Imran berkata, “Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku
menjadi hamba yang saleh”. (Ali ‘Imran: 35).
Sejak dari dalam kandungan, sudah terbayang nantinya sang anak akan
menjadi anak yang shaleh, dan semoga amalnya diterima di sisi Allah SWT. Ini
juga menjadi bukti pentingnya pendidikan janin. Seorang ibu hamil harus lebihi
sabar, lebih santun, lebih banyak beribadah. Karena nantinya akan menjadi ibu
yang mendidik anak. Ketika otak anak sudah bisa berfungsi, kita manfaatkan
dengan memperdengarkan ayat Al-Qur’an.
“Maka tatkala istri, Imran melahirkan anaknya, dia pun berkata, “Ya Tuhanku,
sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan.” (Ali ‘Imran: 36)
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, keluarga Imran adalah keluarga
yang disebutkan oleh Allah dalam Al Qur’an. Istri Imran adalah ibu dari Maryam.
Ciri sang ibu tersebut ada dalam ayat 35. Sejak beliau hamil, beliau telah
menazarkan anaknya menjadi anak yang baik, shaleh dan amalnya diterima Allah
SWT. Ternyata kemudian lahirlah anak perempuan, dan jadilah Maryam yang
kesuciannya dijaga oleh Allah SWT.
Kisah keluarga ‘Imran ini memberikan
pelajaran mengenai kebiasaan baik dalam sebuah keluarga. Kebaikan yang
dibangun atas dasar keimanan kepada Allah akan menjadikan kehidupan lebih
tentram dan damai. Demikian pula dengan memohon hal-hal baik kepada tuhan,
kebaikan ini memberikan contoh kepada umat muslim agar selalu bermunajat hanya
kepada Allah dalam berbagai hal karena hanya Allah lah yang bisa memberikan
kebaikan dalam berbagai hal.
Dalam Al-Qur’an sudah dengan jelas disebutkan bahwa nazar seorang istri
solehah dan suami yang soleh adalah meminta keturunan yang baik. Permintaan
tersebut diamini oleh Allah dan memberikan mereka keturunan yang juga
diabadikan dalam Al-Qur’an yaitu Maryam. Kedua kisah ini menjadi sejarah
berharga bagi umat Islam untuk belajar dan mengambil hikmah dari kedua kisah
tersebut.
Pembelajaran dini yang diajarkan dalam kisah tersebut memberikan
keutamaan dalam masalah pendidikan. Dengan membiasakan diri untuk memberikan
kebiasaan baik kepada sang anak sejak dalam kandungan, maka dengan seijin Allah
sang anak pun akan terlahir dengan segala kebaikan yang diberikan Allah
kepadanya. Pelajaran ini sangat penting untuk dilaksanakan kaum Muslim.
***
AJI ZAINUL FATA, mahasiswa SKI
Pascasarjana UIN SGD Bandung
[1] Helius
Sjamsuddin, Metodologi Sejarah (Jakarta : Penerbit Dirjen Pendidikan
Tinggi Depdikbud, 1996), h. 237
[2]
Muhammad Ahmad Khalafullah, Al-Fann Al-Qassasi fi al-Qur'an al- Karim (Kairo:
Maktabah al-Misriyyah, 1972), diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia al-Qur'an
Bukan Kitab Sejarah, Pent. Zuhairi Misrawi dan Anis Maftukhin (Jakarta:
Paramadina,2002) hlm. 101
[3] Prof.
Dr. ‘Abdurrazzaaq bin ‘Abdil-Muhsin Al-‘Abbaad, Faidah-Faidah dari Kisah
Luqman Al-Hakim, Terj.
[4] Yaitu
panggilan yang sangat halus ketika memanggil seorang anak dalam bahasa Arab
dari dulu sampai saat ini
[6] HR
Ahmad no. 17606 dan Al-Haakim (IV/276), Al-Haakim men-shahiih-kannya dan
disetujui oleh Adz-Dzahabi. Lihat Ash-Shahiihah no. 904.
[9]
Al-’Allamah Al-Alusi rahimahullahu dalam tafsirnya mengatakan: “Dalam ayat ini
terdapat dalil bahwa beristi`adzah (minta perlindungan) kepada Allah dan mohon
keselamatan dari -Nya ketika terjadi ujian/cobaan dan goncangan, merupakan
kebiasaan yang dilakukan orangorang shalih dan sunnah para nabi. Dan ini banyak
disebutkan dalam Al-Qur`an.” Ruhul Ma’ani fi Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim was
Sab’il Matsani, 13/791
[10]
Jami’ul Bayan fi Ta‘wilil Qur`an 12/162, Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an/ Tafsir
Al-Qurthubi 9/132, Ruhul Ma’ani 13/790, An-Nukat wal ‘Uyun Tafsir Al-Mawardi
6/47.
[11] HR.
At-Tirmidzi no. 3878, kitab Manaqib ‘an Rasulillah, bab Fadhlu Khadijah
radhiallahu‘anha, dari hadits Anas bin Malik radhiallahu‘anhu. Dishahihkan
Asy-Syaikh Al- Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan Al-Misykat no.
6181.
[12] Ada
sebagian atsar yang menyebutkan bahwa Maryam dan Asiyah diperistri Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di surga, sebagaimana riwayat Ath-Thabrani dari
Sa’ad bin Junadah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Sesungguhnya Allah menikahkan aku di
surga dengan Maryam bintu Imran, istri Fir’aun (Asiyah), dan dengan (Kultsum)
saudara perempuannya Musa ‘alaihissalam.”
Namun hadits ini lemah, Asy-Syaikh
Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah (no. 812) mengatakan hadits ini mungkar. Adapun
pendapat yang mengatakan Maryam dan Asiyah adalah nabi dari kalangan wanita
sebagaimana Hajar dan Sarah, tidaklah benar karena syarat nubuwwah (kenabian)
adalah dari kalangan laki-laki, menurut pendapat yang shahih. (Ruhul Ma’ani,
13/793)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Tidaklah Kami mengutus rasul sebelummu
kecuali dari kalangan laki-laki yang Kami berikan wahyu kepada mereka.”
(An-Nahl: 43)
[14] HR.
Al-Bukhari no. 3411, kitab Ahaditsul Anbiya, bab Qaulillahi Ta’ala: Wa
Dharaballahu Matsalan lilladzina Amanu… . Diriwayatkan pula oleh Al-Imam Muslim
no. 6222, kitab Fadha`il Ash-Shahabah.
[15] Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Maka Musa dipungut oleh keluarga
Fir’aun yang kemudian ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya
Fir’aun dan Haman beserta tentaranya adalah orang-orang yang bersalah. Dan
berkatalah istri Fir’aun kepada suaminya: ‘Ia adalah penyejuk mata hati bagiku
dan bagimu. Janganlah kalian membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita
atau kita ambil ia menjadi anak.’ Sedangkan mereka tiada menyadari.”
(Al-Qashash: 8-9)
[16]
Ahlussunnahunpad, Dua Wanita yang Terukir Indah dalam Al- Qur’an karena
Kekokohan Imannya, November 25, 2010. Diunduh pada tanggal 19 Nopember 2014
[17]
Muhammad Al-Hafizh. Pertolongan Tuhan Terhadap Manusia Pilihan dalam Tiga
Karya Sastra The Story Of Little Bird, Ashabul Kahfi dan The Smoke Of Fuji
Yama: sebuah Analisis Sastra Bandingan. Fakultas Bahasa dan Seni UNP, Jl.
Prof. Dr. Hamka Air Tawar Padang. Hlm. 6
[18] Azzah
Azizah, Kisah Azhab al-Kahfi dalam Tafsir Al-Misbah Karya M. Quraisy Syihab,
Jurusan Tafsir dan Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta 2008. Hlm. 23
[19] Ibnu
Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari, juz VIII (Beirut Libanon: Dar
al-Kutub al-‘ilmiyah, 1992), hlm. 186.
[20] Ibnu
Jarir al-Tabari, Tafsir al-Tabari…, hlm 187. mengenai batasan
kuantutatif lamanya pemuda Ashab al-kahfi tinggal didalam gua, para mufassir
tidak satu pendapat tentang hal ini. Masa 309 tahun, sebagaimana tertera pada
al-kahf (18): 25, tindakan sertamerta menjadi fakta masa lamanya pemuda Ashab
al-Kahfi tinggal dalam gua. Angka itu hanyalah ucapan orang-orang kafir Quraisy
yang dikutip al-Qur’an. lihat al-Tabari.., hlm.211.
[21]
Fahkruddin al-Razi, al-Tafsir al-Kabir (Teheran: Da>r al-Kutub
al-‘ilmiyah, t.th), juz. 21, hlm. 83, 101.
[22] M.
Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an: Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan, Isyarat
Ilmiah, dan Pemberitahuan Gaib (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 203.
[23] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
vol. 8 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar