Ilaahí
anta makshúdí waridlóka mathlúbi a’thini mahabbataka wama’rifataka
KETIKA
memasuki awal perkuliahan semester tiga, istilah hagiografi bagi penulis masih
sangat asing terdengar. Padahal sudah menjadi rutinitas bagi penulis dalam setiap
bulannya mendengarkan kisah-kisah sufi fenomenal
dengan berbagai karomah-nya, yaitu kisah
Syekh Abdul Qodir Jaelani. Apal rupa teu apal ngaran, pribahasa itu
nampaknya yang cocok menggambarkan kasus penulis tadi.
Namun
setelah mengikuti perkuliahan pertama, penulis mulai memahami bahwa hagiografi adalah kisah atau cerita
tentang keunggualan dan keunikan orang-orang pilihan Allah. Baik itu Nabi
ataupun para wali Allah Swt.
Dr
Ajid Thohir mengatakan bahwa Hagiografi bukanlah hal baru dalam sejarah Islam.
Tradisi hagiografi sudah sejak dulu ditulis oleh para sejarawan. Bahkan dalam
Al-Qur’an yang berjumlah 6236 ayat itu terdapat beberapa ayat tentang dalil-dalil
atau kisah-kisah yang di dalamnya terdapat unsur hagiografi.
Dalam surat
Al-Kahfi ayat 25 misal, beberapa pemuda diceritakan tidur dalam goa selama 309
tahun. Kisah yang sulit untuk dikaji secara logika tetapi itu merupakan firman
Allah yang menunjukkan sejarah orang-orang sholeh sehingga diberi keunggulan
oleh Allah Swt.
Sementara
itu, Braginsky dalam beberapa tulisannya pernah mengemukakan tentang
hagiografi. Dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Tasawuf dan Sastra Melayu (1993. Hlm. Xiii), ia menyebutkan bahwa
istilah hagiografi mengacu kepada penggambaran atau karangan tentang riwayat
hidup atau legenda nabi-nabi pada umumnya, dan Nabi Muhammad pada khususnya,
serta orang-orang suci lainnya, Dalam hagiografi itu sendiri ditemukan
pengetahuan metafisik yang mengabaikan logika dan mengutamakan kepercayaan atau
haqqul yaqin.[1]
Seperti
apa yang sering penulis baca, bahwa kisah-kisah Syekh Abdul Qodir merupakan
salah satu contoh tipe sejarah Hagiografi Sufi yang perlu dikaji. Oleh karena
itu, dalam tulisan ini penulis akan mencoba menyajikan Hagiografi wali agung
Syekh Abdul Qodir Jaelani quddi sirruh.
Kelahiran Syekh Abdul Qodir
Jaelani
Sayyid Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani
dilahirkan di Naif, Jailani Irak pada tanggal 1 bulan Romadhon, tahun 470
Hijriyah, bertepatan dengan 1077 Masehi. Beliau wafat pada tanggal 11 Rabiul
Akhir tahun 561 Hijriyah bertepatan dengan 1166 Masehi, pada usia 91 tahun.
Beliau dikebumikan di Bagdad, Irak. Pada malam beliau di lahirkan ada lima
kejadian yang terjadi :
Ayah Syekh Abdul Qodir Jaelani, yaitu Abi Sholih
Musa Janki, pada malam hari bermimpi dikunjungi Rosululloh SAW., diiringi para
Sahabat dan Imam Mujtahidin, serta para wali. Rosululloh bersabda kepada Abi
Sholih Musa Janki: "Wahai, Abi Sholih kamu akan diberi anak oleh Alloh.
Anak mu akan mendapat pangkat kedudukan yang tinggi di atas pangkat kewalian
sebagaimana kedudukanku diatas pangkat kenabian. Dan anakmu ini termasuk anakku
juga, kesayanganku dan kesayangan Alloh.
Setelah kunjungan Rosululloh SAW, para Nabi
datang menghibur ayah Syekh Abdul Qodir : "Nanti kamu akan mempunyai anak,
dan akan menjadi Sulthonul Auliya, seluruh wali selain Imam Makshum, semuanya
di bawah pimpinan anakmu".
Syekh Abdul Qodir dilahirkan ketika orang-orang
sedang melaksanakan puasa Ramadhan. Dan ketika itu pula Abdul Qodir yang masih
bayi selalu menolak untuk menyusu, baru menyusu setelah berbuka puasa.
Di belakang pundak Syekh Abdul Qodir tampak
telapak kaki Rosululloh SAW, dikala pundaknya dijadikan tangga untuk diinjak
waktu Rosululloh akan menunggang buroq pada malam Mi'raj.
Pada malam dilahirkan, Syekh Abdul Qodir diliputi
cahaya sehingga tidak seorangpun yang mampu melihatnya. Sedang usia ibunya
waktu melahirkan ialah berusia 60 tahun, ini juga sesuatu hal yang luar biasa.
Nasab
Syekh Abdul Qodir
Nasab dari ayah Sayyid Abu Muhammad Abdul Qodir
Jaelani ayahnya bernama : Abu Sholeh Janki Dausat, bin Abdullah, bin Yahya
az-Zahid, bin Muhammad, bin Daud, bin Musa at-Tsani, bin Musa al-Jun, bin
Abdulloh al-Mahdi, bin Hasan al-Mutsanna, cucu Nabi Muhammad saw. bin Sayyidina
'Ali karromallohu wajhahu.
Nasab dari ibu Sayyid Abdul Qodir Jaelani ibunya
bernama : Ummul Khoer Ummatul Jabbar Fathimah binti Sayyid Muhammad bin
Abdulloh asSumi'i, bin Abi Jamaluddin as-Sayyid Muhammad, bin al-Iman Sayid
Mahmud bin Thohir, bin al-Imam Abi Atho, bin sayid Abdulloh al-Imam Sayid
Kamaludin Isa, bin Imam Abi Alaudin Muhammad al-Jawad, bin Ali Rido Imam Abi
Musa al-Qodim, bin Ja'far Shodiq, bin Imam Muhammad al-Baqir, bin Imam Zaenal
Abidin, bin Abi Abdillah al-Husain, bin Ali bin Abi Tholib Karromallohu wajhah.
Dengan demikian, Syekh Abdul Qodir Jaelani adalah Hasani dan sekaligus Husaini.
Kepribadian dan budi pekerti Syekh Abdul Qodir
Akhlaq, pribadi Syekh Abdul Qodir Jaelani sangat
taqwa disebabkan sangat takutnya kepada Alloh, hatinya luluh, air matanya
bercucuran. Do'a permohonannya diterima Alloh. Beliau seorang dermawan berjiwa
sosial, jauh dari perilaku buruk dan selalu dekat dengan kebaikan. Berani dan
kokoh dalam mempertahankan haq, selalu gigih dan tegar dalam menghadapi
kemungkaran. Beliau pantang sekali menolak orang yang meminta-minta, walau yang
diminta pakaian yang sedang beliau pakai. Sifat dan watak beliau tidak marah
karena hawa nafsu, tidak memberi pertolongan kalau bukan karena Alloh.
Ibadahnya Syekh Abdul Qodir
Syekh Abu Abdillah Muhammad al-Hirowi
meriwayatkan bahwa :"Saya berkhidmat menjadi mitra dan mendampingi Syekh
Abdul Qodir selama empat puluh tahun lamanya. Selama itu saya (Syekh Abu
Abdillah) menyaksikan beliau bila sholat Shubuh hanya dicukupkan dengan wudhu
'Isya, artinya beliau tidak batal wudhu.
Seusai sholat lalu Syekh masuk kamar menyendiri
sampai waktu sholat Shubuh. Para pejabat pemerintah banyak yang datang untuk
bersilaturrahmi, tapi kalau datangnya malam hari tidak bisa bertemu dengan
beliau, terpaksa mereka harus menunggu sampai waktu Shubuh.
Pada suatu malam saya mendampingi beliau, sekejap
matapun saya tidak tidur, saya menyaksikan sejak sore hari beliau melaksanakan
sholat dan pada malam harinya dilanjutkan dengan zikir, lewat sepertiga malam
lalu beliau membaca :
اَلْمُحِيْطُ الرَّ بُّ الشَهِيْدُ
الْحَسِيْبُ الْفَعَّالُ الْخَلاَّ قُ
اْلخَالِقُ الْبَارِ ئُ الْمُصَوِّرُ
Tampak badannya bertambah kecil sampai mengecil
lagi, lalu badannya berubah menjadi besar dan bertambah besar, lalu naik tinggi
ke atas meninggi bertambah tinggi lagi, sampai tidak tampak dari pemandangan.
Sejurus kemudian beliau muncul lagi berdiri melakukan sholat dan pada waktu
sujud sangat lama sekali. Demikianlah beliau mendirikan sholat semalam suntuk,
dari dua pertiga malam harinya, lalu beliau menghadap qiblat sambil membaca
do'a. Tiba-tiba terpancarlah sinar cahaya menyoroti arah beliau dan badannya
diliputi sinar cahaya dan tidak henti-hentinya terdengar suara yang mengucapkan
salam sampai terbit fajar.
Kisah-kisah Syekh Abdul Qodir Jaelani
Dibawah ini
saya tuliskan empat kisah Syekh Abdul Qodir yang diambil dari buku yang
diterbitkan oleh sekretariat Pondok Pesantren Suryalaya[2]. Buku
ini sudah menjadi pegangan ikhwan-akhwat[3]
Thoriqot Qodiriyyah Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya yang setiap
bulan dibaca pada acara pengajian bulanan.[4]
Berikut manakib atau dalam bahasan ini
kita menyebutnya merupakan sebuah kajian Hagiografi dari Syekh Abdul Qodir
Jaelani.
Syekh Abdul Qodir menghidupkan orang yang sudah
mati dalam kubur
Dalam kitab Asrorut Tholibin diriwayatkan : Syekh
Abdul Qodir pada waktu melewati suatu tempat, beliau bertemu dengan seorang
umat Islam sedang hangat bersilat lidah, berdebat dengan seorang umat Nasrani.
Setelah beliau mengadakan penelitian dan pemeriksaan yang seksama apa yang
menjadi sebab sehingga terjadi perdebatan yang sengit itu, kata seorang Muslim:
"Sebenarnya kami sedang membanggakan Nabi kami masing-masing, siapa di
antara Nabi kami yang paling baik, dan saya berkata padanya Nabi Muhammad-lah
Nabi yang paling utama". Kata orang Nasrani: "Nabi Isa-lah
yamg paling sempurna". Abdul Qodir bertanya kepada orang Nasrani:
"Apa yang menjadi dasar dan apa pula dalilnya kamu mengatakan bahwa Nabi
Isa-lah lebih sempurna dari Nabi lainnya". Lalu orang Nasrani itu
menjawab: "Nabi Isa mempunyai keistimewaan, beliau menghidupkan kembali
orang yang sudah mati".
Syekh melanjutkan lagi pertanyaannya: "Apakah
kamu tahu aku ini bukan Nabi?, aku hanya sekedar pengikut dan penganut agama
Nabi Muhammad SAW ?". Kata orang Nasrani: "Ya benar, saya tahu".
Lebih jauh Abdul Qodir berkata lagi: "Kalau kiranya aku bisa
menghidupkan kembali orang yang sudah mati, apakah kamu bersedia untuk percaya
dan beriman kepada agama Nabi Muhammad ?". Dan si orang Nasrani ini
menjawab : "Baik, saya mau beriman kepada agama Islam". Lalu
Abdul Qodir berkata lagi : "Kalau begitu, mari kita mencari kuburan".
Lalu mereka mencari kuburan, dan menmukan sebuah luburan tua yang usianya sudah
lima ratus tahun.
Lalu Syekh bertanya lagi: "Nabi Isa kalau
akan menghidupkan orang yang sudah mati bagaimana caranya ?". Orang
Nasrani menjawab: "Beliau cukup mengucapkan QUM BIIDZNILLAH (Bangun
kamu dengan Izin Alloh)". "Nah sekarang kamu perhatikan dan
dengarkan baik-baik!", kata Syekh, lalu beliau menghadap pada kuburan
tadi sambil mengucapkan: "QUM
BIIDZNII (Bangun kamu dengan izinku)". Mendengar ucapan itu orang
Nasrani tercengang keheranan, belum habis herannya, kuburan terbelah dua,
keluar mayat dari dalamnya. Mayat itu keluar sambil bernyanyi. Konon pada waktu
hidupnya mayat itu seorang penyanyi. Menyaksikan peristiwa aneh tersebut,
ketika itu juga, orang Nasrani berubah keyakinannya dan beriman masuk agama
Islam.
Kisah Syekh Ahmad Kanji menjadi murid Syekh Abdul
Qodir
Diriwayatkan, pada suatu hari Syekh Ahmad Kanji
sedang mengambil air wudhu, terlintas dalam hatinya bahwa Thorekat Syekh Abdul
Qodir itu lebih disukai daripada thorekat-thorekat lainnya. Gurunya yaitu Syekh
Abi Ishaq Maghribi mengetahui pula apa yang terlintas dalam hati muridnya, lalu
beliau bertanya: "Apakah kamu mengetahui tentang kedudukan Syekh Abdul
Qodir?". Dijawab oleh Syekh Ahmad Kanji: "Saya tidak tahu".
Lalu gurunya menjelaskan: "Perlu diketahui bahwa Syekh Abdul Qodir itu
memiliki duabelas sifat-sifat kemuliaan. Kalau lautan dijadikan tintanya, dan
pepohonan dijadikan penanya, manusia, malaikat, dan jin sebagai penulisnya,
maka tidak akan mampu menuliskan sifat-sifat jatidiri yang dimiliki beliau itu".
Mendengar penjelasan dari gurunya itu, ia makin bertambah mahabbah kecintaannya
kepada Syekh Abdul Qodir, hatinya berbisik : "Salah satu harapanku
jangan dahulu aku meninggal sebelum aku mendalami dan mengamalkan thoriqohnya".
Kemudian dengan kemauan yang keras berangkatlah
ia menuju kota Baghdad, setibanya disebuah gunung di wilayah Ajmir, dibawah
gunung mengalir sungai, lalu ia mengambil air wudhu untuk bersembahyang serta
beristirahat di tempat itu. Angin bertiup sepoi-sepoi basah mengipasi badan
yang letih sehingga ia terlena dan tertidur dengan nyenyaknya. Didalam keadaan
tidur ia bermimpi dikunjungi Syekh Abdul Qodir. Beliau membawa mahkota merah dan
sorban hijau, Syekh Ahmad Kanji berdiri menghormati kedatangan beliau. "Mari
kesini lebih dekat lagi", kata Syekh Abdul Qodir sambil mengenakan
mahkota merah dan sorban hijau ke atas kepala Syekh Ahmad Kanji, dan berkata
:"Wahai Ahmad Kanji, sekarang kamu sudah menjadi muridku, dan menjadi
anakku dan menjadi Rijalulloh". Lalu beliau menghilang dan bangunlah
Syekh Ahmad Kanji dari tidurnya, mahkota dan sorban sudah melekat terpakai di
atas kepalanya, lalu ia bersujud syukur atas nikmat Alloh yang telah
diterimanya.
Kemudian ia pulang kembali kepada gurunya sambil
memperlihatkan mahkota merah dan sorban hijau hadiah pelantikan dari Syekh
Abdul Qodir, dan menceritakan tentang peristiwa yang telah dialaminya. Gurunya
berkata : "Wahai Ahmad Kanji, mahkota dan sorban itu adalah suatu
hirqoh kemuliaan dan keberkahan bagimu, dan kamu sangat dikasihi Syekh Abdul
Qodir. Sekarang berdirilah tegak, dan kamu telah menjadi wali yang utama".
Dengan mengharap keberkahannya, Syekh Abi Ishaq Maghribi memakai mahkota dan
sorban itu di kepalanya, lalu diserahkan kembali kepada Syekh Ahmad Kanji.
Salah seorang murid Abdul Qodir tidak merasa
lapar dan haus setelah menghisap jari tangan Syekh Abdul Qodir
Syekh Arif Abu Muhammad Syawir As-Sibti berkata:
"Pada suatu hari saya berangkat menuju Baghdad berkunjung kepada Syekh
Abdul Qodir, lalu saya membantu beliau beberapa hari lamanya. Pada waktu saya
akan pulang, lebih dahulu saya menghadap Syekh Abdul Qodir untuk mohon diri.
Beliau berkata padaku: "Silahkan kamu pergi, aku do'akan semoga kamu
selamat di perjalanan dan selamat sampai di tempat tujuan."
Kemudian beliau mengulurkan tangannya menyuruh
padaku supaya jari tangannya dihisap. Lalu kuhisap jari tangan beliau itu.
Beliau berwasiat kepadaku: "Agar nanti di perjalanan jangan
meminta-minta." Setelah saya pamit, berangkatlah saya menuju Mesir.
Berkat karomah Syekh, di perjalanan saya tidak pernah merasa lapar atau haus,
juga tidak mengurangi kekuatan fisik, dengan selamat tidak kurang suatu apapun
sampailah saya di kampung halaman".
Syekh Abdul Qodir menyelamatkan muridnya dari api
dunia dan akhirat
Syekh Miyan Udhmatulloh dari golongan Imam Ulama
Arifin berkata: "Di negeriku Burhaniyun, saya bertetangga dengan seorang
kaya. Ia beragama Hindu penyembah api (agni), namun ia sangat rindu cinta
kepada Syekh Abdul Qodir. Setiap tahun diundang para pejabat pemerintah, para
ulama, dan tidak terkecuali para fakir miskin untuk berpesta bersuka ria, makan
bersama di rumahnya. Untuk lebih semarak lagi, rumahnya dihiasi dengan dekorasi
yang beraneka ragam warna keindahannya, ditaburi dengan bunga-bunga yang harum
semerbak serta minyak yang harum mewangi. Tujuan diadakan pesta itu semata-mata
terdorong rasa cinta mahabah kepada Syekh Abdul Qodir, malah ia merasa bangga
mengaku menjadi muridnya. Rupanya ajal telah tiba baginya, dan setiap jiwa
harus merasakan mati.
Pada waktu mati, keluarganya merawat mayat itu
sesuai dengan keyakinannya, yaitu tata cara agama Hindu, si mayat harus
dibakar. Timbul keanehan, di luar kebiasaan sosok mayat itu tidak hangus
terbakar menjadi abu, bahkan sehelai rambutpun tidak lenyap dimakan api.
Akhirnya keluarganya sepakat bahwa mayat itu lebih baik dihanyutkan ke sungai.
Menghadapi kejadian ini, di negeri tersebut berdiam seorang wali. Pada malam
harinya ia bermimpi dikunjungi Syekh Abdul Qodir. Beliau berpesan: "Mayat
orang Hindu yang te·rapung-apung dihanyutkan air itu ialah muridku, dan ia
telah diberi nama Sa‘dulIah, supaya ia segera diangkat dari sungai dan dikubur
sebagaimana mestinya menurut kewajiban dan ketentuan agama Islam, karena ia
seorang muslim. Mengapa sosok mayat itu tidak lenyap dimakan api sehingga api
tidak mempan untuk membakarnya? Hal ini tiada lain karena Alloh telah berjanji
padaku bahwa Alloh tidak akan membakar murid-muridku baik dari api dunia maupun
api neraka.
Analisa Hagiografi Syekh Abdul Qodir Jaelani
Seperti yang telah disampaikan oleh Dr Ajid
Thohir dalam sesi perkuliahan, bahwa dalam hagiografi terdapat tiga unsur,
yaitu:
Dalam kisah-kisahnya harus terdapat rawi dan
saksi kejadian atau peristiwa unik yang diperlihatkan oleh tokoh tersebut.
Dalam keempat cerita tersebut ada beberapa nama yang disebutkan sebagai rawi
atau pelapor cerita tersebut yang diantaranya, Syekh Miyan Udhmatulloh dari
golongan Imam Ulama Arifin dan Syekh Arif Abu Muhammad Syawir As-Sibti.
Walaupun penulis tidak mengetahui jejak personalitas perawi tersebut, tetapi
setidaknya unsur dari hagiografi tersebut telah terpenuhi.
Unsur yang kedua adalah personalitas tokoh yang
dituliskan dalam hagiografi sebagai pelaku sejarah. Dalam cerita diatas Syekh
Abdul Qodir merupakan pelaku sejarah.
Realitas Karomah yang dialami oleh tokoh. Karomah
memang sulit untuk diuji secara empiris. Hal inilah mungkin yang menjadikan
para positivis khususnya menganggap bahwa hagiografi sulit untuk dijadikan
sumber sejarah. Namun bagi sejarawan Muslim pernyataan Braginsky nampaknya bisa
menjadikan dalil tersendiri bahwa dalam hagiografi baiknya kita mengabaikan logika
dan mengutamakan kepercayaan atau haqqul
yaqin. ***
DUDIN SAMSUDIN adalah mahasiswa
angkatan 2014 prodi Sejarah dan Kebudayaan Islam Pascasarjana UIN SGD Bandung
[2]
Dalam mukadimah buku tersebut dikatakan
bahwa kisah-kisah Syekh Abdul Qodir ini diambil diantaranya dari kitab Tafriijul
Khotir fi Manaakibi Syekh Abdul Qodir dan kitab Uquudul laili fii
manakibil jaeli.
[3]
Ikhwan-akhwat merupakan panggilan bagi orang-orang pengamal Thoriqat Qódíriyyah
Naqsyabandiyyah Pondok Pesantren Suryalaya
[4]
orang Suryalaya dan para pengamal TQN Pondok Pesantren Suryalaya menyebut
pengajian ini dengan sebutan manakiban
atau sabelasan. Disebut manakiban karena dalam pengajian
ini ada pembacaan manakibnya Syekh Abdul Qodir. Disebut sabelasan karena
tanggal pelaksanaan pengajian tersebut selalu dilaksanakan pada setiap tanggal
sebelas bulan-bulan hijriyah. Menurut wakil talqin Abah Anom bahwa penetapan
tanggal sebelas ini mengacu kepada tanggal wafatnya Syekh Abdul Qodir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar